Latest News

Saturday, 23 February 2013

BBC Indonesia - Bayi Dera dan Jokowi

Bayi Dera dan Jokowi
Meninggalnya bayi Dera Nur Anggraeni cukup menghentak saya, dan juga beberapa teman-teman Indonesia lain. Kami -sama dengan Anda yang juga mungkin ikut terhenyak- tidak punya hubungan keluarga dengan Dera dan tidak sempat mengenalnya.

Bayi yang belum berusia sepekan itu meninggal setelah ditolak oleh delapan rumah sakit. Sedang kembarannya, Dara Nur Anggraini -setelah kasus Dera menjadi isu nasional- kini dirawat dengan baik di RSUD Tarakan, Jakarta Pusat.

Keluarga Dera dan Komnas Anak -seperti diberitakan berbagai media- mengatakan penolakan atas perawatan Dera karena keluarga tidak bisa menyiapkan uang muka sekitar Rp10 sampai Rp15 juta.

Pihak rumah sakit menyatakan bukan uang yang jadi alasan, tapi tidak adanya ruang khusus merawat bayi, yang disebut NICU, yang tersedia. Mana yang benar? Tak ada yang tahu dan mungkin tidak akan pernah ada yang tahu.

Akar penyebab tidak jelas - Tapi saya tersentak lagi ketika mendengar Kementrian Kesehatan dan Dinas Kesehatan DKI Jakarta menggelar konferensi pers yang membantah soal uang muka itu. Dalam konferensi pers itu sama sekali tidak ada upaya untuk memastikan lebih lanjut apa sebenarnya penolakan dari rumah sakit itu.

Saya yakin jika hal itu terjadi di sebuah negara -yang menghargai nyawa manusia, apalagi manusia generasi masa depan- maka yang pertama diperlukan adalah pembentukan sebuah komisi independen.

Komisi misalnya akan mencek silang pernyataan dari masing-masing pihak, menelusuri percakapan telepon yang terjadi pada masa itu, dan memanggil para saksi yang bercerita tentang pengalaman mereka selama ini jika ingin dirawat di rumah sakit. Maka akan diketahui penyebab sebenarnya? Bukan sekedar bantahan sepihak.

Mencari pemecahan? - Kenapa penyebab sebenarnya perlu? Dari situlah bisa diketahui jalan keluarnya. Apakah akan menindak rumah sakit yang menolak, misalnya, sehingga memberi efek jera yang berantai dan hal yang sama tidak akan terulang lagi. Atau peralatannya kurang, sehingga bisa ditambah.

Seandainya penyebabnya adalah uang muka, maka mau ditambah sejuta lagi pun peralatan NICU tidak akan memecahkan masalah karena tanpa uang tidak akan diterima. Begitu juga jika ditindak rumah sakitnya tidak akan ada gunanya karena memang peralatan tidak cukup. Sederhana saja. Itu cara berpikir yang sungguh tidak memerlukan kecerdasan setingkat Albert Einstein. Memang memerlukan tekad dan kesungguhan.

Departemen Kesehatan, selain berjanji akan menambah NICU, juga akan mengembangkan sistem. Maksudnya akan ada sebuah sistem kerja sama sehingga bisa diketahui dengan cepat mana rumah sakit yang memiliki NICU yang tersedia dan mana yang penuh. Tapi kalau soalnya minta uang muka, maka sistem itu tak akan banyak gunanya. Akar persoalannya apa? Itu yang menurut saya -dan sungguh amat yakin soal ini- yang perlu dijawab dulu.

Cara Jokowi - Kita semua belum tahu kapan NICU tambahan dan sistem yang dimaksud itu akan benar-benar terwujud. Dan ditengah-tengah berita itu muncul langkah Gubernur DKI Jakarta, Joko Widodo alias Jokowi, untuk menambah rumah sakit kelas tiga bagi berpenghasilan rendah.

Caranya bukan membangun gedung atau kamar baru. Kalau dengan cara itu maka mungkin sama saja dengan menunggu NICU tambahan dan pembangunan sistem. Tapi Jokowi memutuskan RSU Daerah di Jakarta agar mengubah sebagian kelas dua menjadi kelas tiga. Di RSUD Tarakan di Jakarta Pusat, misalnya, mengubah 75% kelas menjadi kelas tiga dan itu hanya membutuhkan waktu dua hari kata Jokowi.

Mantan Gubernur Solo itu juga menegaskan akan menindak tegas jika ada RUSD di wilayahnya yang menolak pasien miskin yang tak punya uang. Jauh di negara rantau di Inggris, kami jelas mengikuti berita dari Indonesia dengan seksama, dan kadang saya merasa pemberitaan tentang Jokowi kadang terasa terlalu banyak. Tapi itu urusan masing-masing media lah. Bahkan sudah mulai muncul wacana agar dia dicalonkan presiden.

Politik bukan bidang saya, tapi pendekatan Jokowi dalam pascakematian Dera saya kira boleh dipuji. Satu karena langsung bisa diwujudkan dan juga karena berprinsip memperbanyak layanan bagi kaum miskin.

Dan saya jadi semakin mengerti kenapa sebuah majalah internasional bergengsi terbitan London, The Economist, akhir Januari lalu menulis 'tidak mengherankan kalau Joko Widodo disebut sebut berpeluang menjadi presiden Indonesia masa depan.' Dalam edisi 26 Januari, majalah itu sempat-sempatnya memberikan perhatian untuk mengulas Jokowi dan menyebutnya sebagai Tukang Membereskan yang berkarakter sederhana dan populis.

Saya bukan pendukung Jokowi -atau belum- dan blog ini jelas bukan forum kampanye politik. Hanya saja, Indonesia -sungguh mati- perlu tukang yang membereskan, yang sederhana, dan yang mengutamakan kepentingan rakyat banyak. http://www.bbc.co.uk/blogs/indonesia/london/2013/02/bayi-dera-dan-jokowi.html

Jokowi Tak Pernah Terima Gaji Bulanan

Jokowi Tak Pernah Terima Gaji Bulanan
Nama Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo selalu menghiasi pemberitaan di seluruh media masa, baik online, cetak, maupun televisi. Pria yang akrab disapa Jokowi itu pun mengaku terus memantau pemberitaan mengenai dirinya. "Saya buka terus, cek terus, baca berita dan komentar pembaca, di mobil, atau enggak kalau malam," ujar Jokowi di Balai Kota Jakarta, Jumat (22/2/2013).

Namun, saat ditanya apakah dirinya akan membuat situs tersendiri untuk memaparkan program kerja dan agenda kerja. Mantan Wali Kota Solo ini mengaku tidak memiliki waktu untuk mengurusnya. "Tapi saya kalau mau bikin status, setiap hari, tiap minggu ya enggak bisa, apaalagi mengurusi web, itu diurusi Pak Wagub. Nanti malah dibilang saingan kalau bikin juga," tandasnya.

Seperti diketahui, gaji Jokowi dan wakilnya Basuki T Purnama (Ahok) dapat diakses melalui situs pribadi Ahok yang beralamat di www.ahok.org, di mana dalam situs tersebut, terpampang gaji beserta tunjangan yang diterima Jokowi-Ahok tiap bulannya. Jokowi menerima gaji dan tunjangan sebesar Rp8.578.500. Sedangkan Ahok menerima gaji dan tunjangan sebesar Rp6.914.100. http://jakarta.okezone.com/read/2013/02/22/500/765939/jokowi-sering-baca-komentar-pembaca-di-media-massa

Janji Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo (Jokowi)-Basuki T Purnama (Ahok) untuk melakukan transparansi anggaran Pemerintahan Jakarta Baru, ditepati. Melalui website www.ahok.org, mereka membeberkan list gaji pejabat DKI. Website ini, dipantau langsung oleh Jokowi. Namun saat ditanya berapa gaji yang dia dapat setelah menjadi Gubernur DKI Jakarta, dirinya enggan menjelaskan. Dia mengaku tidak tahu besaran upahnya selama ini.

"Enggak hafal saya mengenai rupiahnya. Saya enggak pernah terima uang, cuma tanda tangan saja. Benar ini serius," kata Jokowi kepada wartawan, di Balai Kota DKI Jakarta, Jumat (22/2/2013). Kendati begitu, dia tidak menyangkal jika besaran gajinya tidak berbeda jauh dengan Ahok. Meliputi gaji pokok, dan tunjangan setiap bulannya. Saat ditanya berapa selisihnya, dia tak mau menyebut.

"Di situ (website) semua ada. Cuma terpaut sedikit sama Pak Wagub, enggak hafal saya. Sudah ditempel semua, plus struknya. Kira-kira ada gaji dan tunjangan," bebernya. Seperti diketahui, melalui website pribadi www.ahok.org, Ahok mempublikasikan tanda terima gaji dan tunjangan yang diterimanya. Termasuk gaji Gubernur DKI Jakarta pada Februari lalu.

Jumlah gaji yang diterima Jokowi setelah dikurangi pajak adalah sebesar Rp3.448.500, sedangkan Basuki menerima gaji setelah pajak sebesar Rp2.810.100. Selain gaji, gubernur dan wagub juga menerima tunjangan jabatan. Setelah dikurangi pajak. Gubernur menerima tunjangan sebesar Rp5.130.000 dan Wagub sebesar Rp4.104.000. (san) http://metro.sindonews.com/read/2013/02/22/31/720562/jokowi-tak-pernah-terima-gaji-bulanan

Saturday, 16 February 2013

120 Hari Kepemimpinan Jokowi - Ahok

120 Hari Kepemimpinan Jokowi - Ahok
Kemarin, persis empat bulan Joko Widodo memerintah DKI Jakarta. Sejumlah langkah fenomenal yang dilakukan gubernur yang akrab dipanggil Jokowi ini berhasil memompa semangat warga untuk peduli terhadap pembangunan kotanya.

Warga Jakarta, merasa terlibat pada persoalan Jakarta. Manakala dua persoalan klasik Jakarta muncul di depan mata, yakni banjir dan kemacetan, Jokowi jelas tak mampu mencegahnya. Namun, pamornya bukannya turun, malah melesat naik. Itu karena sejak awal Jokowi-Basuki telah berhasil menanamkan kesan sosok pemimpin yang dimaui rakyat, yakni pemimpin yang melayani.

Aksi Jokowi turun ke lapangan (blusukan), tak hanya menjadikannya seorang pemimpin yang mengenal medan. Aksi itu sekaligus memberi pengaruh positif kepada para wali pemerintahan wilayah, yakni wali kota, camat, hingga lurah, serta kepala bidang teknis provinsi.

Jokowi secara tak langsung telah menanamkan filosofi bahwa pemimpin berkewajiban melayani rakyat. Seorang pemimpin harus benar-benar menjiwai kondisi rakyatnya dengan hadir di tengah-tengah rakyat.

Kerinduan masyarakat akan pemimpin yang tidak hanya menerima laporan ABS, asal bapak senang, terpenuhi. Sorotan media massa saat Jokowi berbaju Korpri masuk ke saluran air, langsung memantau perbaikan tanggul yang jebol, bahkan mencari tahu sendiri mengapa pompa air di Pluit tak berfungsi, membangun harapan warga akan adanya gubernur yang mampu mencari solusi perbaikan Jakarta.

Ia juga �melanggar� kebiasaan dengan melantik wali kota di slum area. Setali tiga uang, sang wakil, Basuki Tjahaja Purnama, juga memberesi birokrasi. Terobosan yang cukup mengagetkan antara lain menggelar rapat yang diunggah di You Tube sebagai salah satu bentuk transparansi.

Mengakomodasi kebutuhan warga Jakarta yang kompleks pun diterjemahkan dengan cerdas, yakni mempertahankan akar budaya Betawi. Jokowi yang berasal dari Solo mewajibkan pegawainya berseragam baju adat Betawi pada hari tertentu.

Ia bekerja efektif dan efisien. Sejumlah pos anggaran yang tak relevan untuk kepentingan rakyat, dihapus. Dimulai dari biaya pelantikannya yang dipotong, berlanjut hingga pada penyusunan RAPBD.

Demikian juga dalam pelaksanaan sejumlah upaya membangun, Jokowi-Basuki tidak membuang waktu, tenaga dan biaya, dengan berbagai penelitian. Sudah banyak hasil survei atau penelitian yang dapat dimanfaatkan untuk mencari solusi persoalan Jakarta. Yang kurang selama ini adalah eksekusi atau ketegasan memutuskan mana yang harus dikerjakan.

Keterbukaan ini yang membawa warga merasa ikut serta membangun kotanya. Kebijakan yang menyangkut pusat-daerah pun, melalui media massa, dibuka lebar-lebar. Lobi Jokowi ke sejumlah menteri berkaitan dengan pembangunan infrastruktur Jakarta membuat warga mengerti mana porsi pemerintah pusat, mana porsi Pemprov DKI Jakarta, dan mana yang harus dikerjakan bersama.

Dengan cara ini Jokowi dapat mengajak partisipasi publik menekan pusat. Sebuah pemerintahan yang solid dan penuh dukungan memang harus disertai dengan rekayasa sosial yang baik.

Langkah pada bulan keempat pemerintahannya, Jokowi-Basuki melakukan perombakan besar-besaran di lingkungan pegawai eselon II atau setingkat kepala dinas. Bahkan, salah seorang wali kota digeser menjadi kepala Badan Perpusatakaan dan Arsip Daerah. Ia beralasan bahwa target sudah dicanangkan sejak awal dan melihat empat bulan masa kerja ternyata tidak juga ada kemajuan, maka perombakan pun dengan tegas dilakukan.

Perombakan ini bertujuan untuk percepatan kinerja birokrasi. Siapa yang tak mampu mengimbangi lari Jokowi akan ditinggal. Langkah positif ini, hemat kita, perlu dibarengi dengan kehati-hatian serta kewaspadaan.

Pertama, jangan sampai proses penempatan dan pergeseran ini terdapat muatan kolusi sehingga justru memberikan tempat pada orang yang salah.

Kedua, Jokowi-Basuki harus sudah memetakan posisi dukungan orang lama yang digeser sehingga menghindari munculnya gerbong sakit hati di jajaran birokrasi. Pergeseran pejabat yang bertujuan demi kesempurnaan pelayanan masyarakat ini menambah poin apresiasi terhadap Jokowi.

Berbagai upaya Jokowi terbukti mendongkrak popularitasnya. Lembaga survei Pusat Data Bersatu (PDB) menempatkannya sebagai calon presiden di urutan pertama berdasarkan elektabilitas.

Kita berharap Jokowi tidak tergoda kekuasaan sesuai janjinya ia akan berkonsentrasi membangun Jakarta sampai habis masa tugasnya ketimbang mengikuti keinginan kekuasaan maju pada Pilpres 2014. http://www.beritasatu.com/blog/tajuk/2187-120-hari-jokowi.html

Friday, 15 February 2013

Jokowi Ungguli Prabowo dan Megawati

Jokowi Ungguli Prabowo dan Megawati
Baru sekitar empat bulan jadi Gubernur DKI Jakarta, nama Joko Widodo sudah masuk bursa kandidat yang layak jadi calon presiden. Setidaknya berdasarkan hasil survei Pusat Data Bersatu (PDB).

"Temuan yang cukup mengejutkan, Jokowi suaranya paling tinggi di antara yang lain, menyalip Megawati, Prabowo, Aburizal Bakri, dan lainnya," kata Ketua Lembaga Survei PDB Didik Rachbini dalam acara Dinamika Baru Bursa Capres 2014 di Hotel Kempinski, Jakarta, Rabu (6/2/2013). Dia menduga, masyarakat butuh sosok baru dan ingin perubahan.

"Ini bisa mengubah peta 2014," kata Didik. Survei ini digelar pada 3-18 Januari 2013 dengan 1.200 responden yang berasal dari 30 provinsi. Jokowi mendapatkan dukungan 21 persen suara, disusul Prabowo dengan 17 persen, dan Megawati 11,5 persen. Suara yang didapatkan Jokowi dalam survei ini tak hanya datang dari responden di Pulau Jawa.

Pengamat politik, Burhanuddin Muhtadi, mengatakan, Jokowi selama ini mampu menjaga optimisme publik. "Jokowi pintar memasarkan programnya. Namun, kita tunggu saja karena baru sekitar tiga bulan menjabat," ujarnya. kompas.com


Elektabilitas Joko Widodo (Jokowi) melampaui Megawati Soekarnoputri dan Prabowo Subianto. PPP melihat pesona Jokowi telah membuat para pendukung Mega dan Prabowo berpaling ke gubernur DKI Jakarta itu. "Saya sudah pelajari beberapa hasil survei capres terakhir, Jokowi mulai menyedot elektabilitas Prabowo, JK, Mahfud, bahkan Mega," kata Sekjen PPP M Romahurmuziy kepada detikcom, Kamis (7/2/2013).

Romi, demikian dia disapa, menyadari saat ini Jokowi adalah tokoh paling populer. Sepanjang survei yang digelar sejak Desember lalu, elektabilitas Jokowi terus menanjak, karena publikasi media yang luar biasa. "Kedua, karena masyarakat sudah muak dengan kepura-puraan. Mereka butuh pemimpin yang tampil apa adanya, orang yang tulus," katanya.

Perjalanan elektabilitas Jokowi diprediksi akan terus naik. Kalau Jokowi terus bekerja keras membenahi Jakarta, bukan tidak mungkin Jokowi akan benar-benar menyedot perhatian luas dan punya modal maju Pilpres.

"Maka dia akan menjadi vacum cleaner yang menyedot elektabilitas tokoh lainnya. Bahkan termasuk menyedot elektabilitas Prabowo, yang merupakan penyokong utama dalam kampanyenya," tegasnya.

Dalam survei yang dilakukan oleh Pusat Data Bersatu (PDB) pimpinan Didik J Rachbini, menunjukkan Jokowi sebagai capres potensial dengan elektabilitas tertinggi, menyalip Megawati dan Prabowo Subianto.

Berikut 13 besar capres potensial, berdasarkan survei PDB yang dirilis Rabu (6/2) kemarin:

1. Joko Widodo 21,2 persen
2. Prabowo Subianto 18,4 persen
3. Megawati Soekarnoputri 13,0 persen
4. Rhoma Irama 10,4 persen
5. Aburizal Bakrie 9,3 persen
6. Jusuf Kalla 7,8 persen
7. Wiranto 3,5 persen
8. Mahfud MD 2,8 persen
9. Dahlan Iskan 2,0 persen
10. Surya Paloh 1,3 persen
11. Hatta Rajasa 1,2 persen
12. Chairul Tanjung 0,4 persen
13. Djoko Suyanto 0,3 persen

Survei yang dilakukan Pusat Data Bersatu menyebut Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo berada di posisi teratas bursa calon presiden. Ketika menanggapi hal tersebut, Jokowi yang ditemui di Balaikota berkomentar �Apa? paling tinggi?�

Menurut dia, dirinya tidak terlalu memikirkan hal-hal di luar tugasnya sebagai gubernur di DKI Jakarta. �Saya ndak mikir, sama sekali ndak mikir,� katanya, Kamis (7/2/2013).

Dia mengatakan dirinya ingin fokus dalam menyelesaikan masalah-masalah yang sedang dihadapi oleh Jakarta seperti macet dan banjir. �Saya mau fokus dulu menyelesaikan banjir, macet,� tegas Jokowi.

Dia juga mengaku akan terus melanjutkan program penambahan transportasi massal. �Monorel, MRT juga mau saya selesaikan,� katanya. Sementara itu, Jokowi berdasarkan survei tersebut menduduki posisi pertama di atas Prabowo Subianto, Megawati Soekarnoputri, dan Rhoma Irama. Detik.com