Latest News

Showing posts with label Sejarah. Show all posts
Showing posts with label Sejarah. Show all posts

Sunday, 25 May 2014

4 Cerita Jokowi ketika masih SMA di Solo

4 Cerita Jokowi ketika masih SMA di Solo

4 Cerita Jokowi ketika masih SMA di Solo


1Jokowi tifus tak
diterima di 
SMA N 1 Solo



Jokowi ketika masih muda sempat mengalami jatuh sakit akibat tak
diterima di sekolah favoritnya. Kala lulus dari SMP Negeri 1 Solo tahun
1978, Jokowi muda sangat berharap sekolah di SMA Negeri 1 Solo.
Selain sekolah favorit, kawan-kawan SMP Jokowi pun melanjutkan
pendidikan di sekolah tersebut.

Akan tetapi ambisi tersebut pupus di tengah jalan, akibat Jokowi
muda gagal dalam mengikuti tes masuk. Jokowi muda terpaksa
mengubah haluan masuk ke SMA Negeri 6 Solo, salah satu
SMA terbaru di Kota Bengawan. Di sekolah itu, Jokowi yang
juga Gubernur DKI Jakarta, menjadi siswa angkatan pertama.

Mahmud Nurwindu, kawan sekelas SMA Jokowi mengungkapkan,
capres PDIP tersebut mengalami sakit tifus saat awal-awal
masuk ke SMA N 6 Solo. Efek dari tak diterima di SMA N 1
Solo yang menjadi idamannya.

"Waktu itu Mas Jokowi sampai nggak masuk seminggu.
Sampai telat mengikuti pelajaran sekolah," kata Nurwindu
kepada merdeka.com, Sabtu (24/5).
2.Jokowi dikenal pelit
Merdeka.com - Jokowi sewaktu muda terkenal pelit. Saat sekolah di 
SMA Negeri 6 Solo Jokowi muda tak pernah mau meminta 
dan memberi contekan kepada kawan-kawannya seangkatan. 
Nurwindu yang mengaku sangat dekat dengan Jokowi menceritakan 
kebiasaan Jokowi tersebut dilakukan tiap mengikuti tes atau 
ujian di sekolah.
"Dia itu enggak bakalan nyontek atau niru jawaban temannya 
kalau ujian. Dia juga pelit, enggak mau ngasih tau jawabannya 
kalau temannya nanya atau enggak bisa ngerjain. Saya yang 
orang dekatnya saja enggak pernah dikasih tahu kalau saya 
enggak bisa ngerjain soal. Dia itu pelit kalau ulangan, tapi 
konsekuen," kata dia , Sabtu (24/5).
Nurwindu menceritakan, setelah lulus dari SMA Negeri 6 Solo, 
dia dan Jokowi sama-sama mendaftar kuliah ke UGM (Universitas 
Gajah Mada) Yogyakarta. Keduanya pun berangkat bersama-sama 
dari Solo, meski dengan kendaraan berbeda. Ketika di Yogyakarta 
keduanya berpisah jalan.
"Dia itu nggak bilang-bilang kalau mau daftar ke Fakultas 
Kehutanan. Padahal saya juga mendaftar ke sana, ternyata 
dia yang diterima, saya tidak. Itulah Jokowi, diam-diam tak 
banyak bicara, ternyata malah berhasil," terang dia.


3 Pendiam dan tak
punya jiwa
kepemimpinan

Jokowi terkenal sebagai sosok yang tegas. Berbagai prestasi
dia torehkan di Ibu Kota. Pedagang Kaki Lima (PKL) di Pasar
Tanah Abang dia tertibkan dan pemukiman di pinggir sungai
dia tata lewat konsep kampung deret.

Semua prestasi itu, bertolak belakang dengan keadaan Jokowi
muda yang terkenal sebagai sosok yang tak banyak bicara.
Capres PDIP itu di mata teman-temannya di SMA Negeri 6 Solo,
dikenal sebagai sosok yang pendiam dan tak banyak cakap.
Kelemahan ini membuatnya tak pernah dipilih sebagai ketua
kelas maupun ketua OSIS.

"Selain jujur, pinter, Jokowi itu sangat pendiam. Tak ada jiwa
kepemimpinan atau sesuatu yang menonjol. Dia juga enggak
pernah jadi ketua kelas atau ketua OSIS," ujar Mahmud Nurwindu,
teman sekelas Jokowi kepada merdeka.com, Sabtu (24/5).


4 Jokowi rangking 1 di kelas

Merdeka.com - Calon presiden Partai Demokrasi Indonesia
Perjuangan (PDIP) Jokowi tak hanya berprestasi di Solo dan
DKI Jakarta. Jokowi muda terkenal berprestasi ketika masih
mengenyam bangku SMA Negeri 6 Solo. Dia mempertahankan
rangking 1 dari kelas 1 sampai kelas 3 SMA.

"Jokowi itu selalu rangking 1 di kelas. Dari kelas 1 sampai kelas 3,
selalu terbaik nilainya. Saya kan selalu sebangku sama dia," ujar
Nurwindu kawan karib Jokowi kepada merdeka.com, Sabtu (24/5).

Selain itu, Mahmud Nurwindu menceritakan, capres PDIP tersebut
sempat mengalami sakit tipus saat awal-awal masuk ke SMA N 6 Solo.
Akan tetapi semangatnya belajar tak pernah surut walaupun
ketinggalan pelajaran karena sakit.

"Waktu itu Mas Jokowi sampai enggak masuk seminggu,
sampai telat mengikuti pelajaran sekolah. Waktu itu pernah
diantar orang tuanya naik sepeda ke rumah saya di Mangkuyudan,
selain tanya pelajaran dia juga pinjam catatan," pungkas dia.
4 Cerita Jokowi ketika masih SMA di Solo
Source : merdeka.com



Sunday, 14 July 2013

Membuka Catatan Sejarah: Detik-Detik Proklamasi, 17 Agustus 1945


PDFPrint
Prof. Dr. H. Dadan Wildan, M.HumStaf Khusus Menteri Sekretaris Negara R.I.
Proklamasi  Kemerdekaan, yang kita peringati setiap tanggal 17 Agustus, adalah sebuah peristiwa bersejarah bagi bangsa Indonesia . Proklamasi, telah mengubah  perjalanan sejarah, membangkitkan rakyat dalam semangat kebebasan. Merdeka dari segala bentuk penjajahan.
Bagaimanakah sesungguhnya, peristiwa yang terjadi 61 tahun yang lalu itu. Mari kita buka kembali catatan sejarah sekitar Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945.
Perdebatan
Proklamasi, ternyata didahului oleh perdebatan hebat antara golongan pemuda dengan golongan tua. Baik golongan tua maupun golongan muda, sesungguhnya sama-sama menginginkan secepatnya dilakukan Proklamasi Kemerdekaan dalam suasana kekosongan kekuasaan dari tangan pemerintah Jepang. Hanya saja, mengenai cara melaksanakan proklamasi  itu terdapat perbedaan pendapat. Golongan tua, sesuai dengan perhitungan politiknya, berpendapat bahwa Indonesia dapat merdeka tanpa pertumpahan darah, jika tetap bekerjasama dengan Jepang.
Karena itu, untuk memproklamasikan kemerdekaan, diperlukan suatu revolusi yang terorganisir. Soekarno dan Hatta, dua tokoh golongan tua, bermaksud membicarakan pelaksanaan Proklamasi Kemerdekaan dalam rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Dengan cara itu, pelaksanaan Proklamasi Kemerdekaan tidak menyimpang dari ketentuan pemerintah Jepang. Sikap inilah yang tidak disetujui oleh golongan pemuda. Mereka menganggap, bahwa PPKI adalah badan buatan Jepang. Sebaliknya, golongan pemuda menghendaki terlaksananya Proklamasi Kemerdekaan itu, dengan kekuatan sendiri. Lepas sama  sekali  dari campur tangan pemerintah Jepang. Perbedaan pendapat ini, mengakibatkan penekanan-penekanan golongan pemuda kepada golongan  tua  yang  mendorong  mereka  melakukan �aksi penculikan� terhadap diri Soekarno-Hatta (lihat  Marwati Djoened Poesponegoro, ed. 1984:77-81)
Tanggal 15 Agustus 1945, kira-kira pukul 22.00, di Jalan Pegangsaan Timur No. 56 Jakarta, tempat  kediaman Bung Karno, berlangsung  perdebatan   serius antara sekelompok pemuda dengan Bung Karno mengenai Proklamasi Kemerdekaan sebagaimana dilukiskan Lasmidjah Hardi (1984:58); Ahmad Soebardjo (1978:85-87) sebagai berikut:
Sekarang  Bung, sekarang! malam ini  juga  kita kobarkan revolusi !" kata Chaerul Saleh dengan meyakinkan  Bung Karno bahwa ribuan  pasukan bersenjata sudah siap mengepung kota dengan maksud mengusir tentara Jepang. " Kita  harus segera merebut  kekuasaan !" tukas Sukarni berapi-api. " Kami sudah siap mempertaruhkan jiwa kami !" seru mereka bersahutan. Wikana malah berani mengancam Soekarno dengan pernyataan; " Jika Bung Karno  tidak mengeluarkan pengumuman pada malam  ini  juga, akan berakibat terjadinya suatu pertumpahan darah dan pembunuhan besar-besaran esok hari ."
Mendengar kata-kata ancaman seperti itu, Soekarno naik darah dan berdiri menuju Wikana sambil  berkata:  " Ini batang leherku, seretlah saya ke  pojok itu dan potonglah leherku malam ini juga! Kamu tidak usah menunggu esok hari !". Hatta kemudian memperingatkan Wikana; "... Jepang adalah masa silam. Kita sekarang harus  menghadapi Belanda yang akan berusaha untuk kembali menjadi tuan di negeri kita ini. Jika saudara tidak setuju dengan  apa yang telah saya katakan, dan mengira bahwa saudara telah siap dan sanggup untuk memproklamasikan kemerdekaan, mengapa saudara tidak memproklamasikan kemerdekaan  itu sendiri ?Mengapa meminta Soekarno untuk  melakukan hal itu ?"
Namun, para pemuda terus mendesak; " apakah kita harus menunggu hingga kemerdekaan itu diberikan  kepada kita sebagai hadiah, walaupun Jepang sendiri  telah menyerah dan telah  takluk  dalam 'Perang Sucinya '!". " Mengapa bukan rakyat itu sendiri yang memprokla�masikan kemerdekaannya Mengapa bukan kita yang menyata�kan kemerdekaan kita sendiri, sebagai suatu bangsa ?". Dengan lirih, setelah amarahnya reda, Soekarno berkata; "... kekuatan yang segelintir ini tidak cukup untuk melawan kekuatan bersenjata dan  kesiapan total tentara  Jepang! Coba, apa yang  bisa  kau perlihatkan kepada saya ?  Mana bukti kekuatan yang diperhitungkan itu Apa tindakan bagian keamananmu untuk menyelamatkan perempuan dan anak-anak Bagaimana cara mempertahankan kemerdekaan setelah  diproklamasikan Kita tidak akan mendapat bantuan dari Jepang  atau Sekutu. Coba bayangkan, bagaimana kita akan tegak di atas kekuatan sendiri ". Demikian jawab Bung Karno dengan tenang.
Para pemuda, tetap menuntut agar Soekarno-Hatta segera memproklamasikan kemerdekaan. Namun, kedua tokoh itu pun, tetap pada pendiriannya semula. Setelah berulangkali didesak oleh para pemuda, Bung Karno menjawab bahwa ia tidak  bisa memutuskannya sendiri, ia harus berunding dengan para tokoh lainnya. Utusan pemuda mempersilahkan Bung Karno untuk berunding. Para tokoh yang hadir pada  waktu itu antara lain, Mohammad Hatta, Soebardjo, Iwa Kusumasomantri,  Djojopranoto, dan Sudiro. Tidak lama kemudian, Hatta menyampaikan keputusan, bahwa  usul para  pemuda tidak dapat diterima dengan alasan kurang perhitungan serta kemungkinan  timbulnya  banyak korban jiwa dan harta. Mendengar penjelasan Hatta, para pemuda  nampak tidak puas. Mereka mengambil  kesimpulan yang  menyimpang; menculik Bung Karno dan Bung Hatta dengan maksud menyingkirkan  kedua tokoh itu dari pengaruh Jepang.
Pukul 04.00 dinihari, tanggal 16 Agustus 1945, Soekarno dan Hatta oleh sekelompok pemuda dibawa ke Rengasdengklok. Aksi "penculikan" itu sangat mengecewakan Bung Karno, sebagaimana dikemukakan Lasmidjah Hardi (1984:60). Bung Karno marah dan  kecewa, terutama  karena para pemuda tidak mau mendengarkan pertimbangannya yang sehat. Mereka menganggap perbuatannya itu sebagai tindakan patriotik. Namun, melihat keadaan dan situasi yang panas, Bung Karno tidak mempunyai pilihan lain, kecuali mengikuti kehendak para pemuda untuk dibawa ke tempat yang  mereka tentukan. Fatmawati istrinya, dan Guntur yang pada waktu itu belum berumur satu tahun, ia ikut sertakan.
Rengasdengklok  kota kecil dekat Karawang  dipilih oleh para pemuda untuk mengamankan Soekarno-Hatta dengan perhitungan militer; antara anggota PETA (Pembela  Tanah Air) Daidan Purwakarta dengan Daidan Jakarta telah terjalin hubungan erat sejak mereka mengadakan latihan bersama-sama. Di samping itu, Rengasdengklok letaknya terpencil sekitar 15  km. dari Kedunggede Karawang. Dengan demikian, deteksi dengan mudah dilakukan terhadap setiap gerakan tentara Jepang yang mendekati Rengasdengklok, baik yang datang dari arah Jakarta maupun dari arah Bandung atau Jawa Tengah.
Sehari penuh, Soekarno dan Hatta berada di Rengasdengklok. Maksud para pemuda untuk menekan mereka, supaya segera melaksanakan Proklamasi Kemerdekaan terlepas dari segala kaitan dengan Jepang, rupa-rupanya tidak membuahkan hasil. Agaknya keduanya memiliki wibawa yang cukup besar. Para pemuda yang membawanya ke Rengasdengklok, segan untuk melakukan penekanan terhadap keduanya. Sukarni dan kawan-kawannya, hanya dapat mendesak Soekarno-Hatta untuk menyatakan proklamasi secepatnya seperti yang telah direncanakan oleh para pemuda di Jakarta . Akan tetapi, Soekarno-Hatta tidak  mau didesak begitu saja. Keduanya, tetap berpegang teguh pada perhitungan dan  rencana mereka sendiri. Di sebuah  pondok  bambu berbentuk panggung  di tengah persawahan Rengasdengklok, siang itu terjadi perdebatan panas; " Revolusi berada di tangan kami sekarang dan kami memerintahkan Bung, kalau Bung tidak memulai revolusi malam ini, lalu ...". " Lalu apa ?" teriak Bung Karno sambil beranjak dari kursinya, dengan kemarahan yang menyala-nyala. Semua terkejut, tidak seorang pun yang bergerak atau berbicara.
Waktu suasana tenang kembali. Setelah Bung Karno duduk. Dengan suara rendah ia mulai berbicara; " Yang paling penting di dalam peperangan dan revolusi adalah saatnya yang  tepat. Di  Saigon, saya sudah merencanakan seluruh pekerjaan  ini untuk dijalankan tanggal 17 ". " Mengapa justru diambil tanggal 17, mengapa  tidak sekarang saja, atau tanggal 16 ?" tanya Sukarni. " Saya seorang yang percaya pada mistik�. Saya tidak dapat menerangkan dengan pertimbangan akal, mengapa tanggal 17 lebih memberi harapan kepadaku. Akan tetapi saya merasakan di dalam kalbuku, bahwa itu adalah saat yang baik. Angka 17 adalah angka suci. Pertama-tama kita sedang  berada  dalam bulan suci Ramadhan, waktu kita semua  berpuasa, ini berarti saat yang paling suci  bagi kita. tanggal 17 besok hari Jumat, hari Jumat itu  Jumat legi, Jumat yang berbahagia, Jumat  suci. Al-Qur'an diturunkan tanggal 17, orang Islam sembahyang 17 rakaat, oleh karena itu  kesucian angka 17 bukanlah buatan manusia ". Demikianlah antara lain dialog antara Bung Karno dengan para pemuda di Rengasdengklok sebagaimana ditulis Lasmidjah Hardi (1984:61).
Sementara itu, di Jakarta, antara Mr. Ahmad Soebardjo dari golongan tua dengan Wikana dari golongan muda membicarakan kemerdekaan yang   harus dilaksanakan  di Jakarta . Laksamana Tadashi Maeda, bersedia untuk menjamin keselamatan mereka selama berada di rumahnya. Berdasarkan kesepakatan itu, Jusuf Kunto dari pihak pemuda, hari itu juga mengantar Ahmad Soebardjo bersama sekretaris pribadinya, Sudiro, ke Rengasdengklok untuk menjemput Soekarno dan Hatta. Rombongan penjemput  tiba di Rengasdengklok sekitar pukul 17.00. Ahmad Soebardjo memberikan jaminan, bahwa Proklamasi Kemerdekaan akan diumumkan pada tanggal 17 Agustus 1945, selambat-lambatnya pukul 12.00. Dengan jaminan itu, komandan kompi PETA setempat, Cudanco Soebeno, bersedia melepaskan Soekarno dan Hatta kembali  ke Jakarta (Marwati Djoened Poesponegoro,  ed. 1984:82-83).
Merumuskan Teks Proklamasi
Rombongan Soekarno-Hatta tiba di Jakarta sekitar pukul 23.00. Langsung menuju rumah Laksamana Tadashi Maeda di Jalan Imam Bonjol No.1, setelah lebih dahulu menurunkan Fatmawati dan putranya di rumah Soekarno. Rumah Laksamada  Maeda, dipilih sebagai tempat penyusunan teks Proklamasi karena sikap Maeda sendiri yang memberikan jaminan keselamatan pada Bung Karno  dan tokoh-tokoh lainnya. De Graff yang dikutip Soebardjo (1978:60-61) melukiskan sikap Maeda seperti ini. Sikap dari Maeda tentunya memberi kesan aneh bagi orang-orang Indonesia itu, karena perwira Angkatan Laut ini selalu berhubungan dengan rakyat Indonesia.
Sebagai seorang perwira Angkatan Laut yang telah melihat lebih banyak dunia ini dari rata-rata seorang perwira Angkatan Darat , ia mempunyai pandangan yang lebih tepat tentang keadaan dari orang-orang militer yang agak sempit pikirannya. Ia dapat berbicara dalam beberapa bahasa. Ia adalah pejabat yang bertanggungjawab atas Bukanfu di Batavia;  kantor pembelian Angkatan Laut di Indonesia. Ia tidak khusus membatasi diri hanya pada tugas-tugas militernya saja, tetapi agar dirinya dapat  terbiasa dengan suasana di Jawa , ia membentuk suatu kantor penerangan bagi dirinya di tempat yang sama yang pimpinannya dipercayakan kepada Soebardjo. Melalui  kantor inilah, yang menuntut biaya yang tidak  sedikit  baginya,  ia  mendapatkan pengertian tentang masalah-masalah di Jawa lebih baik dari yang didapatnya dari buletin-buletin resmi Angkatan Darat. Terlebih-lebih ia memberanikan diri untuk mendirikan asrama-asrama bagi nasionalis-nasionalis muda Indonesia . Pemimpin-pemimpin terkemuka, diperbantukan sebagai guru-guru untuk mengajar di asrama itu. Doktrin-doktrin yang agak radikal dipropagandakan. Lebih lincah dari orang-orang militer, ia berhasil mengambil hati dari banyak nasionalis yang tahu pasti bahwa keluhan-keluhan dan keberatan-keberatan mereka selalu bisa dinyatakan kepada Maeda. Sikap Maeda seperti inilah yang memberikan keleluasaan kepada para tokoh nasionalis untuk melakukan aktivitas yang maha penting bagi masa depan bangsanya.
Malam itu, dari rumah Laksamana Maeda, Soekarno dan Hatta ditemani Laksamana Maeda menemui Somobuco (kepala  pemerintahan umum), Mayor Jenderal Nishimura, untuk menjajagi sikapnya mengenai pelaksanaan Proklamasi Kemerdekaan. Nishimura mengatakan bahwa karena Jepang sudah  menyatakan menyerah kepada Sekutu,  maka berlaku ketentuan bahwa tentara Jepang tidak diperbolehkan lagi mengubah status quo . Tentara Jepang diharuskan tunduk kepada perintah tentara Sekutu. Berdasarkan garis  kebi � jakan itu, Nishimura melarang Soekarno-Hatta  mengadakan rapat PPKI dalam rangka pelaksanaan Proklamasi Kemerde � kaan. Melihat kenyataan ini, Soekarno-Hatta sampai pada kesimpulan bahwa tidak ada gunanya lagi untuk membicara�kan soal kemerdekaan Indonesia dengan Jepang. Mereka hanya  berharap agar pihak Jepang  tidak menghalang-ha � langi pelaksanaan  proklamasi kemerdekaan oleh rakyat Indonesia sendiri (Hatta, 1970:54-55).
Setelah pertemuan itu, Soekarno dan Hatta  kembali ke rumah Laksamana Maeda. Di ruang makan rumah Laksamana Maeda itu dirumuskan teks proklamasi kemerdekaan. Maeda, sebagai tuan rumah, mengundurkan diri ke kamar tidurnya di  lantai dua ketika peristiwa bersejarah itu berlangsung. Miyoshi, orang kepercayaan Nishimura, bersama Sukarni, Sudiro, dan B.M. Diah menyaksikan Soekarno, Hatta, dan Ahmad Soebardjo membahas rumusan teks Proklamasi. Sedangkan  tokoh-tokoh lainnya,  baik  dari golongan tua maupun  dari  golongan pemuda, menunggu di serambi muka.
Menurut Soebardjo (1978:109) di ruang makan rumah Laksamana Maeda menjelang tengah malam,  rumusan  teks Proklamasi yang akan dibacakan esok harinya disusun. Soekarno menuliskan  konsep proklamasi pada secarik kertas. Hatta dan Ahmad Soebardjo menyumbangkan pikirannya secara lisan. Kalimat pertama dari teks Proklamasi merupakan saran Ahmad Soebardjo yang diambil dari rumusan   Dokuritsu Junbi Cosakai , sedangkan kalimat terakhir merupakan sumbangan pikiran Mohammad Hatta. Hatta menganggap kalimat pertama hanyalah merupakan pernyataan dari kemauan bangsa Indonesia untuk menentukan nasibnya sendiri, menurut pendapatnya perlu ditambahkan pernyataan mengenai pengalihan   kekuasaan  (transfer of sovereignty). Maka dihasilkanlah rumusan terakhir dari teks proklamasi itu.
Setelah kelompok yang menyendiri di  ruang  makan itu selesai merumuskan teks Proklamasi, kemudian mereka menuju serambi muka untuk menemui hadirin yang berkumpul di  ruangan itu. Saat itu, dinihari menjelang subuh. Jam menunjukkan pukul 04.00, Soekarno mulai membuka pertemuan itu dengan membacakan rumusan teks Proklamasi yang masih merupakan konsep. Soebardjo (1978:109-110) melukiskan suasana ketika itu: � Sementara teks Proklamasi ditik, kami  menggunakan kesempatan  untuk mengambil makanan dan minuman dari ruang  dapur, yang telah disiapkan sebelumnya  oleh tuan rumah kami yang telah pergi ke kamar tidurnya di tingkat atas. Kami  belum makan apa-apa, ketika meninggalkan Rengasdengklok. Bulan itu adalah bulan suci Ramadhan dan waktu hampir habis untuk makan sahur, makan terakhir sebelum sembahyang subuh. Setelah kami terima kembali teks yang telah  ditik, kami semuanya menuju ke ruang besar di bagian depan rumah. Semua orang berdiri dan tidak ada kursi di dalam ruangan. Saya  bercampur dengan  beberapa anggota Panitia di tengah-tengah ruangan. Sukarni berdiri  di samping  saya. Hatta berdiri mendampingi Sukarno menghadap para hadirin . Waktu menunjukkan pukul 04.00 pagi tanggal 17 Agustus 1945, pada saat Soekarno membuka  pertemuan dini hari itu dengan beberapa  patah kata.
"Keadaan yang mendesak telah memaksa  kita  semua mempercepat pelaksanaan Proklamasi Kemerdekaan. Rancangan teks telah  siap  dibacakan  di hadapan saudara-saudara dan saya harapkan benar bahwa saudara-saudara sekalian dapat menyetujuinya sehingga kita dapat berjalan terus dan menyelesaikan pekerjaan kita sebelum fajar menyingsing". Kepada mereka yang hadir, Soekarno menyarankan agar bersama-sama  menandatangani  naskah proklamasi selaku wakil-wakil bangsa Indonesia . Saran itu diperkuat oleh Mohammad  Hatta dengan mengambil contoh pada "Declaration of Independence " Amerika Serikat. Usul itu ditentang oleh pihak pemuda yang  tidak  setuju  kalau tokoh-tokoh  golongan tua yang  disebutnya  "budak-budak Jepang" turut menandatangani naskah proklamasi. Sukarni mengusulkan agar penandatangan naskah  proklamasi  itu cukup dua orang saja, yakni Soekarno dan Mohammad  Hatta atas  nama bangsa Indonesia . Usul Sukarni itu  diterima oleh hadirin.
Naskah  yang sudah  diketik oleh Sajuti Melik,  segera ditandatangani oleh Soekarno dan Mohammad Hatta. Persoalan  timbul mengenai  bagaimana Proklamasi itu harus diumumkan  kepada  rakyat  di seluruh Indonesia ,  dan juga ke seluruh pelosok dunia. Di mana dan dengan cara bagaimana hal ini harus diselenggarakan? Menurut  Soebardjo (1978:113), Sukarni kemudian memberitahukan bahwa rakyat Jakarta dan sekitarnya, telah diserukan untuk datang berbondong-bondong  ke lapangan IKADA pada  tanggal 17 Agustus  untuk mendengarkan Proklamasi  Kemerdekaan. Akan tetapi  Soekarno  menolak saran Sukarni. " Tidak ," kata Soekarno, " lebih  baik dilakukan  di tempat kediaman saya di Pegangsaan  Timur. Pekarangan  di  depan  rumah cukup luas untuk ratusan orang. Untuk apa kita harus memancing-mancing  insiden Lapangan  IKADA adalah lapangan umum. Suatu rapat umum, tanpa diatur sebelumnya dengan penguasa-penguasa militer, mungkin akan menimbulkan salah faham. Suatu bentrokan  kekerasan antara rakyat dan penguasa militer yang akan membubarkan rapat umum tersebut, mungkin akan  terjadi. Karena itu, saya minta saudara sekalian untuk hadir di Pegangsaan  Timur 56 sekitar pukul 10.00 pagi ." Demikianlah keputusan terakhir dari pertemuan itu.
Detik-Detik Proklamasi

Hari  Jumat di bulan Ramadhan, pukul  05.00 pagi, fajar 17 Agustus 1945 memancar di ufuk timur. Embun pagi masih menggelantung di tepian daun. Para pemimpin bangsa dan para tokoh pemuda keluar dari rumah Laksamana Maeda, dengan diliputi kebanggaan setelah merumuskan teks Proklamasi hingga dinihari. Mereka, telah sepakat untuk memproklamasikan  kemerdekaan bangsa Indonesia hari  itu di rumah Soekarno, Jalan Pegangsaan Timur No. 56 Jakarta, pada pukul 10.00 pagi. Bung Hatta sempat berpesan kepada para  pemuda  yang bekerja pada pers dan  kantor-kantor berita, untuk memperbanyak naskah proklamasi dan menyebarkannya ke seluruh dunia (Hatta, 1970:53).
Menjelang pelaksanaan Proklamasi Kemerdekaan, suasana di Jalan Pegangsaan Timur 56 cukup sibuk. Wakil Walikota, Soewirjo, memerintahkan kepada  Mr. Wilopo untuk mempersiapkan peralatan yang diperlukan  seperti mikrofon dan beberapa pengeras suara. Sedangkan Sudiro memerintahkan kepada S. Suhud untuk mempersiapkan  satu tiang bendera. Karena situasi yang tegang, Suhud tidak ingat bahwa di depan rumah Soekarno itu, masih ada dua tiang bendera dari besi yang tidak digunakan. Malahan ia mencari sebatang bambu yang berada di  belakang rumah. Bambu  itu dibersihkan dan diberi  tali. Lalu ditanam beberapa langkah saja dari teras rumah. Bendera  yang dijahit  dengan  tangan oleh Nyonya  Fatmawati  Soekarno sudah disiapkan. Bentuk dan ukuran bendera itu tidak  standar, karena kainnya berukuran tidak  sempurna. Memang, kain itu awalnya tidak disiapkan untuk bendera.
Sementara  itu, rakyat yang telah mengetahui  akan dilaksanakan Proklamasi Kemerdekaan telah berkumpul. Rumah Soekarno telah dipadati oleh sejumlah massa pemuda dan rakyat yang berbaris teratur. Beberapa orang  tampak gelisah, khawatir akan adanya pengacauan dari pihak Jepang. Matahari semakin tinggi, Proklamasi belum juga dimulai. Waktu itu Soekarno terserang  sakit,  malamnya panas dingin terus  menerus  dan baru  tidur  setelah selesai merumuskan teks Proklamasi. Para undangan telah banyak  berdatangan, rakyat yang telah menunggu  sejak pagi, mulai tidak sabar lagi. Mereka  yang diliputi suasana tegang berkeinginan keras agar Proklamasi segera dilakukan. Para pemuda yang tidak sabar, mulai mendesak Bung Karno untuk segera membacakan  teks Proklamasi. Namun, Bung Karno tidak mau membacakan teks Proklamasi tanpa kehadiran Mohammad Hatta. Lima menit sebelum acara dimulai, Mohammad Hatta datang dengan pakaian putih-putih  dan langsung menuju kamar Soekarno. Sambil menyambut kedatangan Mohammad Hatta, Bung Karno bangkit dari tempat tidurnya, lalu berpakaian.  Ia  juga mengenakan stelan putih-putih. Kemudian keduanya menuju tempat upacara.


Marwati Djoened Poesponegoro (1984:92-94) melukiskan upacara pembacaan teks Proklamasi itu. Upacara itu berlangsung sederhana saja. Tanpa protokol. Latief Hendraningrat, salah  seorang  anggota  PETA, segera memberi aba-aba kepada seluruh barisan pemuda yang telah menunggu  sejak pagi untuk berdiri. Serentak semua berdiri tegak dengan sikap sempurna. Latief kemudian mempersilahkan Soekarno dan Mohammad Hatta  maju beberapa  langkah mendekati mikrofon. Dengan suara mantap dan jelas, Soekarno mengucapkan pidato pendahuluan singkat  sebelum membacakan teks proklamasi.
"Saudara-saudara sekalian saya telah minta saudara hadir di sini, untuk menyaksikan suatu peristiwa maha penting dalam sejarah kita. Berpuluh-puluh tahun kita bangsa Indonesia  telah berjuang untuk kemerdekaan tanah air kita. Bahkan telah beratus-ratus tahun. Gelombangnya aksi kita untuk mencapai kemerdekaan kita itu ada naiknya ada turunnya. Tetapi jiwa  kita tetap menuju ke arah cita-cita. Juga di dalam jaman Jepang, usaha kita untuk mencapai kemerdekaan nasional tidak berhenti. Di dalam jaman  Jepang ini tampaknya saja kita menyandarkan diri kepada  mereka. Tetapi pada hakekatnya, tetap kita menyusun tenaga kita sendiri. Tetap kita percaya pada kekuatan sendiri. Sekarang tibalah saatnya kita benar-benar mengambil  nasib bangsa dan nasib tanah air  kita  di dalam tangan kita sendiri. Hanya bangsa yang  berani mengambil nasib dalam tangan  sendiri, akan dapat berdiri dengan kuatnya. Maka kami, tadi malam telah mengadakan musyawarah dengan pemuka-pemuka rakyat Indonesia dari seluruh Indonesia , permusyawaratan itu seia-sekata  berpendapat,  bahwa sekaranglah  datang saatnya untuk menyatakan kemerdekaan kita.
Saudara-saudara! Dengan ini kami menyatakan kebulatan  tekad itu. Dengarkanlah Proklamasi kami: PROKLAMASI; Kami  bangsa Indonesia dengan ini menyatakan Kemerdekaan Indonesia . Hal-hal  yang mengenai pemindahan kekuasaan dan lain-lain, diselenggarakan dengan cara seksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Jakarta , 17 Agustus 1945. Atas nama bangsa Indonesia Soekarno/Hatta.
Demikianlah saudara-saudara! Kita sekarang telah merdeka. Tidak ada satu ikatan lagi  yang mengikat tanah air kita dan  bangsa  kita! Mulai saat  ini kita menyusun  Negara  kita!  Negara Merdeka.  Negara Republik Indonesia  merdeka, kekal, dan abadi. Insya Allah, Tuhan memberkati kemerdekaan kita itu". (Koesnodiprojo, 1951).
Acara, dilanjutkan dengan pengibaran bendera Merah Putih. Soekarno dan Hatta maju beberapa langkah menuruni anak tangga terakhir dari serambi muka, lebih kurang dua meter di depan tiang. Ketika S. K. Trimurti diminta maju untuk mengibarkan bendera, dia menolak: " lebih baik seorang prajurit ," katanya. Tanpa ada yang menyuruh, Latief Hendraningrat yang berseragam PETA berwarna hijau dekil maju ke dekat tiang bendera. S. Suhud  mengambil bendera dari  atas baki  yang  telah disediakan   dan mengikatnya pada tali dibantu oleh Latief Hendraningrat.
Bendera dinaikkan perlahan-lahan. Tanpa ada yang memimpin, para hadirin dengan spontan menyanyikan  lagu Indonesia Raya. Bendera dikerek dengan  lambat sekali, untuk menyesuaikan dengan irama lagu Indonesia Raya yang cukup panjang. Seusai pengibaran  bendera, dilanjutkan dengan pidato sambutan dari Walikota Soewirjo dan dr. Muwardi.
Setelah upacara pembacaan Proklamasi  Kemerdekaan, Lasmidjah Hardi (1984:77) mengemukakan bahwa ada sepasukan  barisan pelopor yang berjumlah kurang  lebih 100 orang di bawah pimpinan S. Brata, memasuki  halaman rumah Soekarno. Mereka datang terlambat. Dengan suara lantang  penuh kecewa S. Brata meminta agar Bung  Karno membacakan  Proklamasi sekali lagi.  Mendengar teriakan itu Bung  Karno tidak  sampai  hati,  ia  keluar  dari kamarnya. Di depan corong mikrofon ia menjelaskan bahwa Proklamasi hanya diucapkan satu kali dan berlaku untuk selama-lamanya. Mendengar  keterangan itu  Brata belum merasa puas, ia meminta agar Bung Karno memberi  amanat singkat. Kali ini permintaannya dipenuhi. Selesai  upacara itu rakyat masih belum mau beranjak, beberapa anggota Barisan Pelopor masih duduk-duduk bergerombol di depan kamar Bung Karno.
Tidak lama setelah Bung Hatta pulang, menurut Lasmidjah Hardi (1984:79) datang tiga orang pembesar Jepang. Mereka diperintahkan  menunggu di ruang belakang, tanpa  diberi kursi. Sudiro sudah dapat menerka, untuk apa mereka datang. Para anggota Barisan Pelopor mulai mengepungnya. Bung Karno sudah memakai piyama ketika Sudiro masuk, sehingga  terpaksa  berpakaian  lagi. Kemudian terjadi dialog antara utusan Jepang dengan Bung Karno: " Kami  diutus oleh Gunseikan Kakka, datang kemari untuk melarang Soekarno mengucapkan Proklamasi ." " Proklamasi sudah saya ucapkan," jawab Bung  Karno dengan tenang. " Sudahkah ?" tanya utusan Jepang itu keheranan. " Ya, sudah !" jawab Bung Karno. Di sekeliling  utusan Jepang itu, mata para  pemuda melotot dan tangan mereka sudah diletakkan di atas golok masing-masing. Melihat kondisi seperti itu, orang-orang Jepang itu pun segera pamit. Sementara  itu, Latief Hendraningrat tercenung memikirkan kelalaiannya. Karena dicekam suasana tegang, ia lupa menelpon Soetarto dari PFN untuk mendokumentasikan peristiwa itu. Untung ada Frans Mendur dari IPPHOS yang plat filmnya tinggal tiga lembar (saat itu belum ada rol film). Sehingga dari seluruh peristiwa bersejarah  itu, dokumentasinya hanya ada  tiga; yakni sewaktu Bung Karno membacakan teks Proklamasi, pada saat pengibaran  bendera,  dan  sebagian  foto hadirin yang menyaksikan peristiwa itu. 
Penutup
Peristiwa  besar  bersejarah yang  telah mengubah jalan sejarah bangsa Indonesia itu berlangsung  hanya satu  jam, dengan penuh kehidmatan. Sekalipun sangat sederhana, namun ia telah membawa perubahan  yang  luar biasa  dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia . �Gema lonceng kemerdekaan�  terdengar  ke seluruh   pelosok Nusantara dan menyebar ke seantero dunia. Para  pemuda, mahasiswa,  serta pegawai-pegawai bangsa Indonesia pada jawatan-jawatan perhubungan yang penting giat bekerja menyiarkan isi proklamasi itu  ke seluruh pelosok negeri. Para wartawan Indonesia yang bekerja pada kantor berita Jepang Domei , sekalipun telah disegel oleh pemerintah  Jepang, mereka berusaha menyebarluaskan gema Proklamasi itu ke seluruh dunia.
Dirgahayu Indonesiaku!
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Soebardjo (1978). Lahirnya  Republik   Indonesia . Jakarta : Kinta.
Koesnodiprodjo    (1951). Himpunan Undang-Undang, Peraturan-Peraturan, Penetapan-Penetapan Pemerintah Republik Indonesia 1945. Jakarta .
Lasmidjah   Hardi  (1984). Samudera  Merah   Putih    19 September 1945 . Jilid 1. Jakarta : Pustaka Jaya.
Marwati  Djoened  Poesponegoro et. al.  (1984). Sejarah Nasional    Indonesia .  Jilid  6.    Jakarta :   Balai Pustaka.
Mohammad  Hatta  (1970). Sekitar Proklamasi  17  Agustus 1945 . Jakarta : Tinta Mas.
Nugroho  Notosusanto  (1976). Naskah  Proklamasi   yang Otentik   dan  Rumusan Pancasila   yang   Otentik. Jakarta : Pusat Sejarah ABRI.
Soekarno   (1963 ). Sarinah; Kewadjiban  Wanita Dalam Perdjoangan Republik Indonesia . Jakarta : Panitia Penerbit Buku-Buku Karangan Presiden Soekarno.

Wednesday, 24 April 2013

Pandangan Saya Sebagai Orang Islam Terhadap Ahok



Kamis kemarin, 19 Juli 2012, KPUD Jakarta mengumumkan hasil Pemilukada tanggal 11 Juli 2012 yang lalu. Hasilnya sebagai berikut:

Jokowi -Ahok 42,6 %
Foke -Nara 34,05 %
Hidayat - Didik 11,7 %
Faisal - Biem 4,9 %
Alex -Nono 4,67 %
Herdardji - Riza 1,97 %

Tampilnya pasangan Joko Widodo " Basuki Tjahaja Purnama atau Jokowi " Ahok sebagai peraih suara paling tinggi cukup mengejutkan bagi saya, karena survei-survei yang dilakukan sebelum hari pemilihan hanya menempatkan pasangan kotak-kotak itu pada posisi kedua. 

Padahal, Calon Wakil Gubernur yang diusung PDI Perjuangan dan Gerinda itu beragama Kristen Protestan. Hasil ini menunjukkan, agama Calon Gubernur dan Wakil Gubernur tidak terlalu menjadi persoalan bagi warga Jakarta yang mayoritas Muslim. Mereka sama sekali tak menghiraukan fatwa atau pendapat yang mengharamkan memilih Non-Muslim sebagai pemimpin. 

Memang sudah seharusnya pemilih Jakarta menunjukkan kelasnya sebagai warga Ibukota yang cerdas, rasional dan tidak emosional, yang menyadari isu agama itu dimunculkan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab, untuk kepentingan politik sesaat.

Isu agama bukan kali pertama terjadi di dunia perpolitikan di Indonesia. Pemilihan Presiden tahun 1999, 2004 dan 2009 selalu diwarnai isu agama. Tahun 1999 sekelompok ulama dan tokoh Islam mengeluarkan fatwa haramnya perempuan menjadi presiden. Fatwa itu sengaja dimunculkan untuk menghadang Megawati Soekarno Putri, karena ada kekhawatiran terhadap orang-orang di belakang Megawati yang rata-rata abangan dan bahkan Non-Muslim. 

Pada Pilpres 2004 isu agama kembali dihembuskan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Istri Calon Presiden SBY dituduh beragama Kristen karena namanya Kristiani Herrawati. Demikian juga pada Pilpres 2009 istri Calon Wakil Presiden Boediono dituduh beragama Kristen. Akibat tuduhan itu, beberapa kali Bu Herawati mengenakan jilbab untuk menunjukkan di depan publik bahwa tuduhan itu tidak benar.
Ternyata semua isu agama itu tidak terbukti. Kekhawatiran adanya kristenisasi dan pembangunan gereja besar-besaran pada pemerintahan Megawati, ketika Bu Ani Yudhoyono menjadi ibu Negara dan pada saat Bu Herawati Boediono menjadi Ibu Wakil Presiden, semua itu tidak terbukti. Rakyat akhirnya paham bahwa isu agama hanyalah dijadikan mainan politik semata. 

Memilih Pemimpin yang Sejati

Menurut saya, memilih pemimpin harus didasarkan kepada kemampuan Calon, bukan apa agama Calon. Sebab, soal agama adalah urusan pribadi antara seorang hamba dengan Tuhannya. Apakah Calon rajin sembahyang atau tidak, tekun puasa Ramadhan atau tidak, dan selalu membayar zakat atau tidak, itu semua bukan urusan rakyat untuk mengetahuinya.

Yang perlu dipertimbangkan saat memilih pemimpin adalah sejauhmana kemampuan pemimpin untuk menghadirkan sebesar-besar kemakmuran rakyat. Karena itu, yang harus dipilih adalah pemimpin yang adil sehingga kepemimpinannya membawa kemaslahatan (kemanfaatan) bagi rakyat yang dipimpinnya.
Dalam Kitab Al-Hisbah karangan Ibnu Taimiyah dinyatakan sebagai berikut:

???? ???? 
Artinya:
"Allah akan menolong Negara yang adil meskipun Negara itu Kafir. Dan Allah tidak akan menolong Negara yang dholim meskipun Negara itu Mukmin (Islam)."

Kita bisa melihat Australia, Jepang, Korea, Negara-negara Eropa dan Amerika yang penduduknya bukan mayoritas Muslim (baca: Kafir), tapi ternyata lebih maju dan sejahtera dibandingkan dengan Negara-negara Islam seperti Mesir, Yaman, Aljazair, Oman, Libya dan Tunis, tidak lain karena Negara-negara Kafir itu menjunjung tinggi keadilan. Maka Allah menolong mereka karena keadilan yang mereka tegakkan.
 
Seorang tokoh pembaharu asal Mesir, Mohammad Abduh mengatakan "Saya melihat Islam di Barat tapi saya tidak temukan Kaum Muslim di sana. Sebaliknya, saya menemukan Kaum Muslim di Timur tapi saya tidak melihat ada Islam di sana." Maksudnya, Orang-orang Barat tidak mengenal agama Islam, namun perilakunya mencerminkan ajaran Islam. Mereka menjunjung tinggi keadilan, giat bekerja, disiplin, memudahkan urusan orang lain, menjaga kebersihan dan ketertiban umum serta menghargai waktu.
Nah, inilah pentingnya memilih pemimpin yang diyakini mampu menghadirkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat. Soal apa agama pemimpin tersebut, itu bukan faktor penting Sebab, bisajadi ada pemimpin yang di KTP tertulis agama Islam, tapi perilakunya justru Kafir, tidak mencerminkan nilai-nilai Islam. Keislaman seorang pemimpin bukan dilihat dari peci dan baju koko-nya, melainkan dari perilakunya. Pemimpin yang mengaku Islam sebagai agamanya, tidak berani berbuat korupsi, tidak menggunakan fasilitas Negara untuk kepentingan pribadi, dan tidak berbuat dholim kepada rakyatnya. 

Sebaliknya, tidak mustahil ada pemimpin yang di KTP tertulis Kristen tapi perilakunya malah sangat Islami. Ia curahkan segala pikiran dan tenaganya untuk kesejahteraan rakyat, sehingga rakyat bisa memenuhi seluruh kebutuhan hidupnya, baik jasmani maupun rohani. Ia kerahkan jiwa dan raganya untuk kemaslahatan (kemanfaatan) rakyat, sehingga rakyat tidak menemui kesulitan untuk memperoleh pangan, sandang dan papan, bahkan untuk melakukan peribadatan kepada Allah SWT. Pemimpin seperti itu sesuai dengan Kaidah Fiqh:
???? 
Artinya:
"Kebijakan pemimpin terhadap rakyatnya harus mengacu pada kemaslahatan (kebaikan) rakyat".

Kajian Dalil Larangan Memilih Pemimpin Kafir
Memang dalam kitab Suci Al-Quran ada beberapa ayat yang melarang umat Islam untuk memilih pemimpin yang tidak beragama Islam. Di antaranya ayat-ayat yang terjemahannya berikut ini:
  • Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menjadikan orang-orang Yahudi dan Nasrani sebagai pemimpin-pemimpinmu (Al-Maidah : 51)

  • Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menjadikan orang-orang Kafir sebagai pemimpin-pemimpinmu dengan meninggalkan orang-orang Mukmin / Muslim (An-Nisa : 144)
Menurut saya, ayat-ayat di atas benar adanya. Hanya saja, pertanyaannya adalah orang Kafir seperti apa yang tidak boleh dijadikan sebagai pemimpin. Di sinilah perlunya melakukan apa yang dalam Logika Hukum disebut Rechtsvervijning (Pengkonkritan atau Penghalusan Hukum) yang merupakan salah satu metode dalam Konstruksi Hukum.

Kita tidak boleh memahami ayat secara apa adanya atau tekstual, tapi harus melakukan kontekstualisasi. Kenapa orang Kafir tidak boleh dijadikan pemimpin? Bagaimana kondisi dan situasi pada saat ayat itu diturunkan? Apakah keadaan sekarang masuk dalam kriteria tidak dibolehkannya mengangkat pemimpin Kafir seperti pada masa Rasulullah SAW. masih hidup dulu? 

Saya berpendapat bahwa orang-orang Islam tidak boleh memilih pemimpin Kafir dengan catatan pemimpin tersebut membawa dampak negatif bagi agama dan umat Islam. Selama pemimpin Kafir tersebut diyakini mendatangkan keburukan atau kemudharatan bagi agama dan umat Islam, maka hukum memilihnya tidak boleh. Sebaliknya, bila keyakinan itu tidak ada maka hukumnya boleh.

Lagi pula, untuk ukuran jaman sekarang di era demokrasi, pemimpin tidak bisa tampil secara sewenang-wenang dan sesuka hatinya. Ia tidak bisa menjadi satu-satunya pengambil kebijakan. Setiap kebijakan yang diputuskan harus melalui musyawarah dengan banyak pihak dan dalam pelaksanaannya dikontrol oleh rakyat, baik melalui wakil-wakilnya di Dewan Perwakilan Rakyat, media dan LSM. Adanya mekanisme kontrol inilah yang membedakan pemerintahan sekarang dengan jaman dulu.

Pemimpin sekarang tidak akan berani berbuat semena-mena, kecuali ia akan menjadi bulan-bulanan media dan didemonstrasi oleh rakyat. Karena itu, kekhawatiran dengan adanya pemimpin Kafir tidak mempunyai dasar. 

Sosok Ahok yang Islami

Ada seorang ulama di Belitung Timur, kampung halaman Ahok, yang mengatakan, "Pada diri Ahok ditemukan sifat-sifat kenabian, yaitu Shidiq (jujur), Amanah (dapat dipercaya), Tabligh (mampu berkomunikasi) dan Fathonah (cerdas)."

Saya sependapat dengan ulama tersebut. Berdasarkan rekam jejak yang dipublikasikan, selama memimpin Belitung Timur, Ahok terkenal sebagai sosok pemimpin yang profesional, jujur, bersih, transparan dan merakyat. Sifat-sifat itu sesuai dengan ajaran Islam. 

Ahok tak menjaga jarak antara dirinya dengan rakyat. Ia biasa keliling kampung untuk mengetahui persoalan rakyatnya. Perilaku Ahok itu seperti yang dilakukan Khalifah Umar bin Khattab yang suka keliling kampung. Dengan keliling kampung, Khalifah Umar pernah dikisahkan menemukan suara tangis pada malam hari. Ternyata ada anak-anak kecil yang menangis tiada henti karena tidak makan berhari-hari. Karena merasa bersalah, Khalifah Umar spontan mengambil sendiri makanan yang ada di gudang Negara, memikulnya sendiri dan mengantarkan ke keluarga tadi. Itulah perlunya pemimpin turun ke bawah (turba) sehingga tahu persis keadaan rakyat yang dipimpinnya, dan tidak melulu mengandalkan laporan dari staf-stafnya. 

Ahok juga tidak pernah memanfaatkan fasilitas publik untuk kepentingan pribadi. Justru yang terjadi, Ahok memotong uang perjalanan dinasnya untuk membantu rakyatnya yang miskin. Perilaku Ahok ini mengingatkan saya kepada cerita Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Suatu ketika putranya datang menghadap ke Istana, lalu Khalifah Umar bertanya, �Untuk urusan apa, Kamu datang, Nak?� Sang putra menjawab, �Untuk urusan pribadi.�
Seketika Khalifah Umar mematikan lampu ruangan. Sang putra bertanya lagi, �Kenapa dimatikan, Ayahanda?�

�Karena lampu ini dibiayai oleh Negara. Tidak boleh menggunakan fasilitas Negara untuk kepentingan pribadi.� Subhanallah.

Perilaku Ahok itu jarang ditemukan pada pemimpin-pemimpin saat ini. Tidak sedikit Gubernur dan Bupati/Walikota yang mendekam di penjara karena terlibat kasus korupsi penggunaan APBD. Tapi tidak termasuk Ahok. Ia sadar bahwa APBD adalah uang rakyat yang harus dipergunakan untuk kepentingan rakyat. Maka, uang itu haram dimanfaatkan untuk urusan pribadi, seperti untuk memperkaya diri sendiri atau untuk mendanai kampanye pemenangan dalam Pemilukada. 

Ketika pemilukada Belitung Timur 2005, ada kekhawatiran bahwa jika terpilih, Ahok akan melakukan kristenisasi atau membangun gereja besar-besaran, ternyata kekhawatiran itu tidak terbukti. Selama memimpin Belitung Timur, Ahok lebih menjunjung tinggi ayat-ayat Konstitusi. 

Lagi pula, kalau kelak benar-benar terpilih pada Pemilukada Jakarta putaran kedua tanggal 20 September 2012, sosok Jokowi tidak akan mungkin membiarkan wakilnya, Ahok sibuk memprioritaskan urusan agamanya ketimbang urusan rakyat keseluruhan. Ahok bukan pasangan pertama Jokowi. Sebelumnya, Jokowi sudah pernah berpasangan dengan Wakil yang beragama Kristen. Selama dua periode kepemimpinannya di Solo, Jokowi didampingi Wakil yang juga beragama Kristen. Namanya FX Hadi Rudyatmo. Dan, selama ini tidak pernah terjadi apa-apa.
Lalu, apa yang dikhawatirkan dari Ahok?

Sumber : http://politik.kompasiana.com/2012/07/20/pandangan-saya-sebagai-orang-islam-terhadap-ahok-479224.html