Keinginan Jokowi untuk memberantas mafia migas dan pertambangan tampaknya hanya menjadi "lelucon" yang tak lucu di siang bolong. Mengapa demikian? Jawabanya adalah karena Jokowi saat ini dikelilingi oleh sekelompok "boneka menteri" titipan dari "mafia-mafia" yang justru ingin diberantas oleh sang presiden terpilih.
Sekali lagi Rakyat terpaksa harus mengucapkan "Salam Gigit Jari" buat pak presiden. Tidak Percaya? silahkan simak rekam jejak para kandidat menteri ESDM di sekeliling Jokowi :
1. Tri Haryo Indiawan Soesilo
Tri Haryo Indiawan Soesilo alias Hengky adalah mantan Dirut PT Rekayasa Industri ini untuk menjadi Calon Menteri ESDM. Tri Haryo merupakan alumnus dari ITB dan kini menjabat President & CEOSupreme Energy yang menginduk pada perusahaan milik Mr. Mohammad Reza Chalid dari Global Energy Resources (GER). Reza Chalid terkenal sebagai the God Father Para Mafia Minyak
Simak penuturan @ratuadil berikut terkait sepak terjang Tri Haryo Indiawan baik sebagai Direktur Utama PT Rekayasa Industri hingga akhirnya dipecat dari posisi Komisaris Pertamina oleh Dahlan Iskan.
http://chirpstory.com/li/8167
Selain itu Tri Haryo yang juga anak mantan Menteri Pariwisata, Pos dan Telekomunikasi Soesilo Soedarman muncul karena PETRAL yang notabene dijadikan ladang sekaligus tempat pencucian uang oleh mafia migas membackup habis mantan Komisaris Pertamina tersebut.
Lewat Umar Said dan sejumlah kepanjangan tangan Riza Chalid yang berkumpul di KataData, mereka merancang skenario untuk memunculkan nama-nama jagoan mereka lewat pemberitaan dan pencitraan positif. ((http://katadata.co.id/berita/2014/08/13/berani-lawan-mafia-ini-calon-alternatif-menteri-esdm)
Skenario ini disusun paska pemberitaan massif soal pertemuan “Rumah Polonia” dan terlemparnya nama Tri Haryo dari bursa usulan Menteri Jokowi Center. Jadi Tri Haryo dicitrakan berani melawan mafia migas agar Mafia sebenarnya selamat dari “sasaran tembak” Jokowi!
2. Karen Agustiawan
Mantan Dirut Pertamina ini mendadak “dangdut” alias mundur dari periode kedua jabatan Dirut Pertamina yang didudukinya sejak 2009. Dianggap sukses sebagai Dirut BUMN Minyak oleh pemerintahan SBY, Karen yang berlatar belakang pendidikan ITB dan Amerika (Dua institusi penguasa kementrian ESDM sejak era Orde Baru) ternyata memiliki rekam jejak yang “mengerikan” jika memimpin Kementrian ESDM.
Diplot sebagai boneka titipan perusahaan minyak AS, EXXON dan Chevron, Karen yang cerdas dan sejak awal dididik di MobilOil cocok menjadi boneka kepanjangan tangan kartel minyak AS di negeri ini.
Buktinya selama dipimpin oleh Karen, ada dua peristiwa penting di sektor migas terkait dengan Exxon. Pertama, pengambilalihan Blok Cepu oleh ExxonMobil. Kedua, kasus (sengketa) kontrak Exxon di Blok Natuna. Untuk yang kedua, pihak pemerintah bersengketa dengan kontrak ExxonMobil yang masanya berakhir tanggal 9 Januari 2009 (DetikFinance, 18 Januari 2009, 12.18). dan dua-duanya berakhir dengan kemanngan Exxon dan kerugian untuk bangsa dan negara.
Simak cerita lengkapnya disini : http://leo4kusuma.blogspot.com/2009/02/pertamina-di-bawah-kepemimpinan-karen.html#.VArrDWO0eHY
Menghilangnya Karen pasca mundur dari Dirut Pertamina sebenarnya adalah kamuflase sekaligus bentuk pencitraan terdzolimi yang dibuat AS. Padahal Karen menghilang untuk menghadiri serangkaian “Fit and Proper Test” dan briefing agar Karen bisa diselamatkan dari jerat KPK dalam kasus suap SKK Migas sekaligus menjadi figure idola kandidat Menteri ESDM cabinet Jokowi-JK.
3. Ari Soemarno
Kakak kandung Kepala Kantor Transisi ini masuk lewat pengaruh sang adik yang dominan di kubu Jokowi, Rini Soemarno. Namun harus diingat bahwa mantan Dirut Petral (2003) dan Dirut Pertamina (2006-2009) ini adalah “The Real Mafia Migas” ! Kalau anda ingat Petral sebagai lumbung uang para mafia migas maka Ari Soemarno pernah menjadi kepalanya! Dan bahkan menjadi Dirut Pertamina yang merupakan ujung pangkal kekuasaan di lingkar mafia migas.
Parahnya kedekatan Jusuf Kalla dengan sang “Mafioso” saat kongkalikong konversi minyak tanah ke gas pada era SBY membuat posisi Ari Soemarno seolah tidak tergoyahkan sebagai kandidat Menteri ESDM.
Ceritanya Pada 2006 JK mengusulkan konversi dari minyak tanah ke LPG, dimana proyeknya terbukti rawan korupsi. Konversi minyak tanah ke LPG, JK sebagai pengambil keputusan siapa yg berhak produksi GAS 3 kg itu. Kemudian ia menangkan sendiri perusahaannya Bukaka grup dan Kalla grup sebagai pemenang tender pemerintah,cerdik bukan
Disitulah peran sang Mafioso, JK bekerja sama dengan Ari Soemarno (mantan dirut pertamina 2006-2009) jg mantan Dirut Petral pada 2003. Ari Soemarno adalah orang yang memuluskan proyek GAS 3kg JK,jadi secara telak konversi itu dikuasai oleh perusahaan JK. Berawal dari Dirut Petral akhirnya ia mengembangkan mafia bisnisnya sendiri,hingga menjadi Dirut Pertamina 2006-2009
http://ttgindo.wordpress.com/2014/07/12/kongkalikong-antara-jusuf-kalla-dan-mafia-migas/
Disitulah Ari Soemarno tersandung kasus impor minyak Zatapi. Menurut audit BPK, negara dirugikan ratusan miliar karena mengimpor minyak Zatapi . Versi Pertamina, justru mampu menghemat 3 juta dolar Amerika. Empat orang jajaran Direksi pertamina, ditahan dan dicekal, juga pimpinan Gold Manor, perusahaan pemenang tender. Namun sekali lagi bisa ditebak, Ari Soemarno selamat! (http://www.majalahtambang.com/detail_berita.php?category=5&newsnr=818)
4. Kurtubi
Pengamat perminyakan ini kerap menjadi referensi bagi media untuk mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi di lingkup bisnis migas negeri ini. Sebagai lulusan UI, Kurtubi bukanlah golongan generasi elit di lingkar Kementrian ESDM, tak heran meski sempat menjadi salah satu komisaris Pertamina, karier Kurtubi di BUMN Minyak tersebut tak berumur panjang.
Namun darimana lulusan Fakultas Ekonomi UI ini bisa fasih soal pertambangan dan migas?. Ternyata semua dimulai saat ia mengambil kuliah S2 dan S3 di Colorado, AS. Hasilnya Kurtubi pun masuk dalam jajaran komisaris PT Newmont Nusa Tenggara dan duduk sebagai Komisaris di PT Pertamina dalam kurun waktu yang bersamaan. Yah pada tahun yang sama 2007.
Kurtubi masuk ke Kantor Transisi lewat jaringannya di Partai NasDem yaitu Akbar Faisal, politisi lintas partai yang kehadirannya di Kantor Transisi ternyata tidak seijin Surya Paloh Ketum Nasdem.
Lantas apa kepentingan Akbar dan yang utama Kurtubi? Tidak lain dan tidak bukan menjalankan agenda yang selama ini di lakoninya yakni menjadi boneka Newmont di Birokrasi dan berharap Jokowi terbuai dengan pandangannya yang “mengaburkan” selama ini sebagai pengamat.
Kurtubi kerap dipakai oleh Newmont untuk membela bisnisnya di negeri ini. Tidak hanya itu Kutubi diduga juga menjadi agen ganda bagi para petinggi Petral dan Jajaran penguasa di Pertamina untuk memuluskan kritiknya terhadap kebijakan yang merugikan para “Mafioso” di lingkar Pertamina
5. Tumiran
Anggota dewan Energi Nasional ini merupakan akademisi dari UGM. Sepintas dia memang hanya terlihat sebagai seorang yang bersih karena tidak pernah terlibat dalam birokrasi praktis baik dalam perusahaan maupun pemerintahan. Namun jangan salah, sebagai pakar kelistrikan lulusan Universitas Saitama Jepang , Tumiran yang juga Guru Besar FT UGM ini ternyata menjadi pelindung bagi “MAFIA LISTRIK” di negeri ini.
Rekomendasi yang dikeluarkannya bahwa SUTET (Saluran Udara Tegangan Tinggi) tidak berbahaya (http://www.suaramerdeka.com/harian/0604/12/ked01.htm) ternyata merupakan pesanan dari kelompok Jusuf Kalla dan Bakrie yang menjadi kontraktor pembangunan SUTET di sepanjang Sulawesi. (http://dongants.wordpress.com/2009/04/06/sutet-dan-mafia-bisnis-pln/)
Munculnya nama Tumiran sendiri merupakan upaya kelompok Bakrie dan Jusuf Kalla untuk mengamankan tender proyek pembangunan tower listrik Jawa-Bali (http://www.isuenergi.com/pln-tender-ulang-sutet-menara-eiffel/) dan sejumlah rencana pengembangan listrik kawasan Indonesia Timur.
Tumiran yang satu almamater dengan Jokowi, menjadi salah satu “Boneka kesayangan” para Mafia Listrik untuk digadang-gadang menjadi Menteri ESDM atau minimal Dirut PLN di era pemerintaha n Jokowi-JK ke depan.
6. Raden Priyono
Raden Priyono adalah mantan Kepala Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas) sejak 2008 hingga dibubarkan pada 2012. Nama Raden Priyono diusulkan oleh anggota Tim Pemenangan Jokowi, yakni mantan Kepala Badan Intelijen Negara AM Hendropriyono yang jelas bermasalah karena disinyalir terlibat pembunuhan almarhum Munir.
(http://katadata.co.id/berita/2014/08/07/raden-priyono-dan-ari-soemarno-calon-kuat-menteri-esdm)
Salah satu kasus yang menyeret Priyono adalah terlibat dalam skandal korupsi pengadaan kapal angkutan migas Joko Tole yang merugikan negara sebesar Rp 7 triliun.
(http://www.lensaindonesia.com/2013/11/13/icw-desak-kpk-bongkar-mark-up-sewa-hotel-mulia-dan-joko-tole.html)
Dugaan mark-up sewa kapal FPU (Floating Production Unit) BW Jokotole ini melibatkan Kangean Energy Indonesia Ltd. yang merupakan anak perusahaan PT Energi Mega Persada Tbk, unit usaha Grup Bakrie selaku kontraktor kontrak kerjasama (KKS) proyek Terang Sirasun Batur, Blok Kangean, Jawa Timur.
BW Joko Tole diperuntukkan sebagai penunjang fasilitas produksi proyek Migas Terang Sirasun Batur yang berlokasi di perairan Timur Madura. Dari Kapal Joko Tole ini, gas dialirkan ke konsumen melalui East Java Gas Pipe Line. Untuk konsumen domestik di Jawa Timur, antara lain PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) sebesar 130 juta standar kaki kubik per hari, Petrokimia Gresik 65 juta standar kaki kubik per hari, Pertagas sebanyak 100 juta standar kaki kubik per hari, dan Indogas sebesar 20 juta standar kaki kubik per hari.
Kapal ini berkapasitas kompresi gas sebesar 340 juta standar kaki kubik per hari (MMscfd) dan fasilitas penampung minyak sebesar 2.200 barel per hari.
Sewa BW Joko Tole sebagaimana data yang ada senilai USD 870 juta, termasuk operating coast selama 14 tahun dari BW Offshore, perusahaan yang berbasis di Norwegia.
Kapal ini diresmikan di Galangan Kapal Sembawang, Singapura 17 Maret 2012 silam dihadiri R. Priyono, Presiden dan General Manager Kangean Energy Indonesia Ltd Junichi Matsumoto, Managing Director Sembawang PK Ong, serta CEO BW Offshore Carl Arnet.
Pembuatan kapal ini diduga hanya menghabiskan dana USD 100 juta. Kapal Joko Tole ini merupakan eks BW Genie yang diproduksi tahun 1988. Pengerjaan peralatan produksi yang berada di kapal Joko Tole dilakukan di Batam. Di Singapura, hanya tinggal melakukan proses penempatannya di atas kapal.
Penyewaan kapal Joko Tole menjadi pertanyaan besar. Sebab, berdasarkan studi, mestinya bisa membangun pipa yang biayanya lebih murah hanya sekitar Rp 150 miliar.
Praktis, dengan memilih sewa kapal, investasi bisa berkali lipat. Sewa kapal yang semula 5 tahun dan 10 tahun diperpanjang menjadi 14 tahun, harga sewa senilai USD 400 juta menjadi USD 870 juta dan terakhir menjadi USD 1,2 miliar. Diduga ada mark-up mencapai USD 700 juta atau setara dengan Rp 7 triliun. Semuanya masuk coast recovery yang ditanggung negara, setara skandal Bank Century Rp 6,7 triliun.
7. Evita Legowo
Mantan Dirjen Migas Kementrian ESDM ini memang sudah cukup berumur (63 tahun). Namun sosoknya cukup kuat bagi para rekanan Kementrian ESDM. Selama 5 tahun memimpin Dirjen Migas KESDM sekaligus Komisaris Pertamina, Evita yang pernah ditugaskan di Lemigas dan ladang minyak Cepu ini dipandang cukup mengetahui alur transaksi minyak dan gas indonesia dari hulu hingga hilir. Sehingga akhirnya Prabowo memilih memunculkan namanya sebagai "titipan" untuk Kabinet Jokowi-JK.
Lewat siapa? ini yang menarik. Adalah sosok mantan Kepala Badan Pelaksana Kegiatan Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas) yang saat ini bernama SKK Migas, Kardaya Warnika yang juga caleg Gerindra yang menjadi kepanjangan tangan Prabowo untuk masuk ke Evita Legowo.
(http://finance.detik.com/read/2014/06/25/094909/2618530/1034/dukung-prabowo-hatta-ini-alasan-eks-kepala-bp-migas)
Kenapa? Karena Evita sudah lama bekerjasama dengan mafia di internal Pertamina dan Kementrian ESDM untuk melakukan markup-markup dan penyelewengan di lingkup tender-tender pertamina seperti pada kasus "sewa FSRU atau terminal LNG terapung dari pihak ketiga hampir Rp 600 M. Dimana Fee untuk direksi Pertamina dijamin lebih US$ 5 juta atau Rp. 60 miliar.
Sulitkah KPK menangkap mafia gas itu? Tidak! dalam kasus FSRU atau terminal LNG terapung Dirjen Migas Evita H Legowo yang bikin perencanaan, Evita H Legowo tahu persis siapa pelaku korupsi, modus, berapa ratus miliar kerugian negara.
8. Susilo Siswoutomo
Susilo merupakan lulusan Mechanical Engineering-Solar Refrigration Institut Teknologi Bandung angkatan 1970. Susilo selama 33 tahun menghabiskan karier di ExxonMobil dan memutuskan pensiun pada tahun 2006 dengan posisi akhir Land Task Force Manager. Setelah pensiun, ia menjadi penasihat ahli di Mobil Cepu Limited, lalu pada November 2007-Maret 2010, ditarik ke BPMIGAS (sekarang SKK Migas) menjadi penasihat ahli Wakil Kepala BP Migas. Pada 2011, Susilo juga menjabat sebagai Kepala Pengawasan dan Pengendalian Proyek Pengembangan Lapangan Abadi, Blok Masela.
Selama Tugas di BP MIGAS, Susilo Siswoutomo menggunakan kewenangannya sebagai pembina dan pengawas Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) di dalam menjalankan kegiatan eksplorasi, eksploitasi dan pemasaran migas Indonesia untuk menggandengkan ExxonMobil dengan , PT Pertamina EP Cepu mengelola Proyek Banyu Urip. Untuk meloloskan proyek inilah ExxonMobil memberikan uang pelicin sebesar 1 juta USD kepada Susilo Siswoutomo atas jasa nya.
Saat Jero Wacik ditunjuk menjadi Menteri ESDM, ia diangkat menjadi staf khusus, karena Jero wacik awam soal permainan di dunia migas. Semenjak jadi staf khusus ini lah Susilo menjadi tangan kanan untuk
9. Koentoro Mangkusubroto
Mantan Menteri Pertambangan dan Energi Indonesia di akhir era Orde Baru ini sudah malang melintang di lingkup ESDM sejak usai menyelesaikan studinya. Sempat menjadi Dirjen, dan akhirnya diangkat oleh Soeharto menjadi Menteri Kabinet Pembangunan VI ini dimana semua perusahaan kontrak karya asing mendapat perpanjangan kontrak, Koentoro seolah tidak bisa dilepaskan dari lingkar kekuasaan hingga detik ini.
Setelah tidak menjadi menteri ia diangkat menjadi Direktur Utama PLN pada tahun 2000 - 2001 dimana PLN merugi 32 Triliyun tanpa ada pertanggung jawaban. Ia pernah menjabat juga sebagai Kepala Badan Pelaksana - BRR Aceh-Nias yang menunggak pembayaran kepada kontraktor sebesar 35 milyar.
Kedekatan Koentoro dengan keluarga Cendana tersebut membuat ia selalu menjadi “orang dalam” bagi Siti Hardijanti Roekmana dan keluarganya (baca kasus busang yang melibatkan Tutut, Koentoro dan Sigit- http://tempo.co.id/ang/min/01/40/utama.htm). Termasuk saat Jokowi terpilih menjadi presiden. Skenario cadangan yang melibatkan peran sang “Mafia Tambang” yang terlatih pun disusun. Sejumlah pertemuan “tidak terdata” namun tercium saat putra Soeharto (Tommy) mulai melancarkan serangan terhadap kubu yang ingin memberantas mafia di kementrian esdm. (http://www.tempo.co/read/news/2014/08/31/078603413/Tommy-Soeharto-Jangan-Sok-Pintar-Soal-Subsidi-BBM) (*)