Showing posts with label Tokoh Dunia. Show all posts
Showing posts with label Tokoh Dunia. Show all posts
Friday, 6 December 2013
Nelson Madela Telah Berpulang,5 Des 2013 ( umur 95 thn )
Nelson Madela Telah Berpulang,5 Desember 2013 pada umur 95 tahun
Nelson Rolihlahla Mandela (pengucapan Xhosa: [xoˈliːɬaɬa manˈdeːla]; lahir di Mvezo, Afrika Selatan, 18 Juli 1918 – meninggal di Johannesburg, Afrika Selatan, 5 Desember 2013 pada umur 95 tahun) adalah seorang revolusioner anti-apartheid dan politisi Afrika Selatan yang menjabat sebagai Presiden Afrika Selatan sejak 1994 sampai 1999. Ia adalah orang Afrika Selatan berkulit hitam pertama yang memegang jabatan tersebut dan presiden pertama yang terpilih melalui keterwakilan penuh, dalam sebuah pemilu multiras. Pemerintahannya berfokus pada penghapusan pengaruh apartheid dengan memberantas rasisme, kemiskinan dan kesenjangan, dan mendorong rekonsiliasi rasial.
Selaku nasionalis Afrika dan sosialis demokratik, ia menjabat sebagai Presiden Kongres Nasional Afrika (ANC) pada 1991 sampai 1997. Selain itu, Mandela pernah menjadi Sekretaris Jenderal Gerakan Non-Blok pada 1998 sampai 1999.
Terlahir dari keluarga kerajaan Thembu dan bersuku Xhosa, Mandela belajar hukum di Fort Hare University dan University of Witwatersrand. Ketika menetap di Johannesburg, ia terlibat dalam politik anti-kolonial, bergabung dengan ANC, dan menjadi anggota pendiri Liga Pemuda ANC. Setelah kaum nasionalis Afrikaner dari Partai Nasional berkuasa tahun 1948 dan menerapkan kebijakan apartheid, popularitas Mandela melejit di Defiance Campaign ANC tahun 1952, terpilih menjadi Presiden ANC Transvaal, dan menghadiri Congress of the People tahun 1955. Sebagai pengacara, ia berulang kali ditahan karena melakukan aktivitas menghasut dan, sebagai ketua ANC, diadili di Pengadilan Pengkhianatan pada 1956 sampai 1961, namun akhirnya divonis tidak bersalah. Meski awalnya berunjuk rasa tanpa kekerasan, ia dan Partai Komunis Afrika Selatan mendirikan militan Umkhonto we Sizwe (MK) tahun 1961 dan memimpin kampanye pengeboman terhadap target-target pemerintahan. Pada 1962, ia ditahan dan dituduh melakukan sabotase dan bersekongkol menggulingkan pemerintahan, dan dihukum penjara seumur hidup di Pengadilan Rivonia.
Mandela menjalani masa kurungan 27 tahun, pertama di Pulau Robben, kemudian di Penjara Pollsmoor dan Penjara Victor Verster. Kampanye internasional yang menuntut pembebasannya membuat Mandela dibebaskan tahun 1990. Setelah menjadi Presiden ANC, Mandela menerbitkan otobiografi dan bernegosiasi dengan Presiden F.W. de Klerk untuk menghapuskan apartheid dan melaksanakan pemilu multiras tahun 1994 yang kelak dimenangkan ANC. Ia terpilih sebagai Presiden dan membentuk Pemerintahan Persatuan Nasional. Selaku Presiden, ia menyusun konstitusi baru dan membentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi untuk menyelidiki pelanggaran-pelanggaran HAM sebelumnya. Ia juga memperkenalkan kebijakan reformasi lahan, pemberantasan kemiskinan, dan perluasan cakupan layanan kesehatan.
Di luar negeri, ia bertindak sebagai mediator antara Libya dan Britania Raya dalam pengadilan pengeboman Pan Am Penerbangan 103 dan mengawasi intervensi militer di Lesotho. Ia menolak mencalonkan diri untuk kedua kalinya dan digantikan oleh wakilnya, Thabo Mbeki. Ia kemudian menjadi negarawan ulung yang berfokus pada aktivitas amal demi memberantas kemiskinan dan HIV/AIDS melalui Nelson Mandela Foundation.
Kontroversial nyaris sepanjang hayatnya, para kritikus sayap kanan menyebut Mandela teroris dan simpatisan komunis. Meski begitu, ia memperoleh pengakuan internasional atas sikap anti-kolonial dan anti-apartheidnya, menerima lebih dari 250 penghargaan, termasuk Hadiah Perdamaian Nobel 1993, Medali Kebebasan Presiden Amerika Serikat, dan Order of Lenin dari Uni Soviet. Ia sangat dihormati di Afrika Selatan dan lebih dikenal dengan nama klan Xhosa-nya, Madiba atau tata. Nelson Mandela sering dijuluki "bapak bangsa".
Penangkapan dan pengadilan Rivonia: 1962–1964
Monumen yang didirikan tahun 1996 ini menandakan situs penangkapan Mandela dekat Howick, KwaZulu-Natal
Pada 5 Agustus 1962, polisi menangkap Mandela dan Cecil Williams dekat Howick.[109] Ditahan di penjara Marshall Square, Johannesburg, ia dituduh menghasut mogok buruh dan ke luar negeri tanpa izin. Mewakili dirinya sendiri ditemani Slovo sebagai penasihat hukum, Mandela hendak memanfaatkan pengadilan ini untuk menunjukkan "penentangan moral ANC terhadap rasisme" sementara para pendukungnya berdemo di luar pengadilan.[110] Setelah dipindahkan ke Pretoria, tempat yang bisa dijangkau Winnie, Mandela mulai mengambil studi korespondensi untuk mendapatkan gelar Bachelor of Laws (LLB) dari University of London dari dalam selnya.[111] Sidang dengar pendapatnya dimulai tanggal 15 Oktober, tetapi ia mengganggu jalannya sidang dengan mengenakan kaross tradisional, menolak memanggil saksi mata, dan mengganti permohonan keringanannya menjadi pidato politik. Dinyatakan bersalah, Mandela dihukum penjara lima tahun; ketika ia keluar dari ruang sidang, para pendukungnya menyanyikan Nkosi Sikelel iAfrika.[112]
Tanggal 11 Juli 1963, polisi menggeledah Lilielsleaf Farm, menahan semua orang di sana, dan menyita berkas-berkas aktivitas MK, beberapa di antaranya menyebut nama Mandela. Pengadilan Rivonia langsung diselenggarakan di Mahkamah Agung Pretoria pada tanggal 9 Oktober. Mandela dan rekan-rekannya dituduh empat kali melakukan sabotase dan konspirasi untuk menggulingkan pemerintah. Kepala jaksa penuntut Percy Yutar menuntut mereka dihukum mati.[114] Hakim Quartus de Wet menutup kasus jaksa dengan alasan bukti tidak cukup, tetapi Yutar menyusun ulang tuntutannya dan mengajukan kasus baru sejak Desember sampai Februari 1964 dengan melibatkan 173 saksi mata dan ribuan dokumen dan foto.[115]
Kecuali James Kantor, yang dinyatakan tidak bersalah atas semua tuduhan, Mandela dan terdakwa lainnya mengaku melakukan sabotase namun menolak pernah sepakat melancarkan perang gerilya terhadap pemerintah. Mereka menegaskan tujuan politik mereka di pengadilan ini; salah satu pidato Mandela—terinspirasi pidato "History Will Absolve Me" oleh Castro—diliput besar-besaran oleh pers meski ada sensor dari pemerintah.[116] Pengadilan ini mendapat perhatian internasional; banyak pihak di seluruh dunia meminta pembebasan para terdakwa, termasuk Perserikatan Bangsa-Bangsa dan World Peace Council. University of London Union menyerukan agar Mandela menjadi presiden dan misa malam untuknya diadakan di St. Paul's Cathedral, London.[117] Apa daya, karena dianggap penyerobot komunis, pemerintah Afrika Selatan mengabaikan tuntutan-tuntutan tersebut, dan pada 12 Juni 1964 de Wet menetapkan empat tuduhan kepada Mandela dan dua terdakwa dan menjatuhkan vonis penjara seumur hidup, bukan hukuman mati.[118]
Pulau Robben: 1962–1982
Mandela dan terdakwa lainnya dipindahkan dari Pretoria ke penjara di Pulau Robben dan dikurung di sana sampai 18 tahun selanjutnya.[119] Terisolasi dari tahanan-tahanan non-politik di Section B, Mandela ditahan di sel beton lembap berukuran 8 kaki (2.4 m) kali 7 kaki (2.1 m) yang dilengkapi tikar jerami untuk tidur.[120] Selain sering ditindas secara verbal dan fisik oleh penjaga berkulit putih, para tahanan Pengadilan Rivonia menghabiskan waktu dengan memecah batu sampai akhirnya dipindahtugaskan ke tambang batu kapur pada Januari 1965. Mandela awalnya dilarang memakai kaca mata, sehingga sinar batu kapur tersebut merusak penglihatannya secara permanen.[121] Malamnya, ia belajar demi mendapatkan gelar LLB tetapi dilarang membaca surat kabar. Ia sempat beberapa kali ditahan di kurungan soliter akibat menyelundupkan kliping berita.[122] Dengan level tahanan terendah, Kelas D, Mandela hanya boleh dijenguk sekali dan mengirim sepucuk surat saja setiap enam bulan, walaupun semua surat yang keluar masuk disensor besar-besaran.[123]
Para tahanan politik bekerja dan mogok makan–cara terakhir dianggap tidak efektif oleh Mandela—demi memperbaiki kondisi penjara dan melihatnya sebagai dunia perjuangan anti-apartheid berukuran kecil.[124] Para tahanan ANC mengangkat Mandela sebagai anggota "High Organ" bersama Sisulu, Govan Mbeki, dan Raymond Mhlaba. Mandela juga terlibat dalam sebuah grup yang mewakili semua tahanan politik di pulau itu, Ulundi; dari situ ia membina hubungan dengan anggota PAC dan Yu Chi Chan Club.[125] Setelah merintis "University of Robben Island," tempat para tahanan berceramah tentang bidang yang dikuasainya, ia memperdebatkan topik-topik seperti homoseksualitas dan politik dengan teman-temannya sampai terlibat perdebatan panas soal politik dengan penganut Marxis seperti Mbeki dan Harry Gwala.[126] Meski rajin menghadiri misa Minggu, Mandela juga mempelajari Islam.[127] Ia juga belajar bahasa Afrikaans dengan harapan mampu membuat penjaga penjara mengerti dan mendukung perjuangannya.[128]
Sejumlah pejabat menjenguk Mandela, termasuk perwakilan parlemen liberal Helen Suzman dari Partai Progresif yang melanjutkan perjuangan Mandela di luar penjara.[129] Pada September 1970, Mandela dijenguk AP Partai Buruh Britania Raya Dennis Healey.[130] Menteri Kehakiman Afrika Selatan Jimmy Kruger berkunjung bulan Desember 1974, namun Healey dan Mandela gagal menemuinya.[131] Ibu Mandela berkunjung tahun 1968 dan meninggal tidak lama kemudian. Putra pertama Mandela, Thembi, meninggal dunia akibat kecelakaan mobil setahun berikutnya; Mandela dilarang menghadiri pemakaman ibu maupun putranya.[132] Istrinya jarang menjenguk karena sering dipenjara akibat aktivitas politiknya, sementara putri-putrinya pertama menjenguk Mandela bulan Desember 1975; Winnie keluar penjara tahun 1977 namun dipaksa menetap di Brandfort, sehingga tidak bisa menjenguk ayahnya.[133]
Sejak 1967, kondisi penjara membaik, tahanan berkulit hitam diberikan celana panjang (sebelumnya celana pendek), permainan boleh diselenggarakan, dan kualitas makanan meningkat.[134] Pada 1969, rencana kabur untuk Mandela disusun oleh Gordon Bruce, namun dibatalkan setelah diketahui agen South African Bureau of State Security (BOSS) yang ingin melihat Mandela ditembak saat kabur.[135] Tahun 1970, Komandan Piet Badenhost menjadi mengambil alih kendali.
Merasa penyiksaan fisik dan mental terhadap tahanan meningkat, Mandela menyampaikan keluhannya ke hakim-hakim yang berkunjung; Badenost akhirnya dipindahtugaskan.[136] Ia digantikan oleh Komandan Willie Willemse yang membina hubungan baik dengan Mandela dan mau memperbaiki standar penjara.[137] Pada 1975, Mandela menjadi tahanan Kelas A,[138] sehingga ia berhak mendapat jatah kunjungan dan surat yang lebih besar; ia menghubungi para aktivis anti-apartheid seperti Mangosuthu Buthelezi dan Desmond Tutu.[139] Tahun itu pula, ia mulai menulis otobiografi yang kemudian diselundupkan ke London, namun tidak diterbitkan; otoritas penjara menemukan beberapa lembar halaman dan hak belajar Mandela dihentikan selama empat tahun.[140] Ia lantas menghabiskan waktunya dengan berkebun dan membaca sampai melanjutkan studi LLB-nya tahun 1980.[141]
Pada akhir 1960-an, ketenaran Mandela dikalahkan oleh Steve Biko dan Black Consciousness Movement (BCM). Menganggap ANC tidak efektif, BCM menyerukan aksi militan, tetapi setelah pemberontakan Soweto tahun 1976 banyak aktivis BCM yang dipenjara di Pulau Robben.[142] Mandela mencoba membangun hubungan dengan radikal-radikal muda ini, meski kritis terhadap rasialisme dan ketidaksukaan mereka terhadap aktivis anti-apartheid berkulit putih.[143]
Ketertarikan dunia internasional terhadap perjuangannya bermula bulan Juli 1978, bertepatan dengan ulang tahun Mandela ke-60.[144] Ia mendapatkan gelar doktoral kehormatan di Lesotho, Nehru Prize for International Understanding di India tahun 1970, dan Freedom of the City di Glasgow, Skotlandia, tahun 1980.[145] Pada Maret 1980, slogan "Free Mandela!" dicetuskan oleh jurnalis Percy Qoboza dan mengawali kampanye internasional yang memaksa Dewan Keamanan PBB menuntut pembebasannya.[146] Walaupun tekanan luar negeri sangat besar, pemerintah menolak dan bergantung pada sekutu Perang Dingin yang kuat seperti Presiden Amerika Serikat Ronald Reagan dan Perdana Menteri Britania Raya Margaret Thatcher; Thatcher menganggap Mandela teroris komunis dan mendukung penekanan terhadap ANC.[147]
Source :id.wikipedia.org