Latest News

Monday, 20 January 2014

“Nabi Baru” Bernama Jokowi

Joko Widodo (img.bisnis.com)

Joko Widodo (img.bisnis.com)

“Nabi Baru” Bernama Jokowi


Seumpama lembaga hukum, Joko Widodo adalah personifikasi dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Mengkritiknya adalah cela, memberitakan sisi negatifnya adalah hina. Jika rekan-rekan mencoba untuk mengkritik Jokowi di sosial media, rekan-rekan harus menyiapkan mental terlebih dahulu untuk menerima serangan dari para Jokowi Lovers. Bahkan, sekadar memberikan saran kepada Jokowi pun, anda akan mendapatkan jawaban: “saran seperti itu pasti sudah dipikirkan oleh Pak Jokowi”.
Demikianlah kecintaan masyarakat kita terhadap Jokowi, begitu lubernya. Entah benar-benar masyarakat entah akun-akun buatan tim media milik Jokowi sendiri, saya tidak tahu dan tidak berkepentingan untuk memverifikasinya. Namun saya punya pengalaman menarik, sewaktu acara “Buka Puasa Bersama Presiden” di Gedung SME Tower dalam rangka Hari Anak Nasional Bulan Ramadhan lalu. Waktu itu anak-anak SMA mengelu-elukan Jokowi melebihi para menteri anggota Kabinet Indonesia Bersatu. Setidaknya pengalaman itu membuktikan bahwa kecintaan massa terhadap Jokowi adalah realitas yang harus kita pahami, dan hal itu benar-benar eksis di masyarakat. Tidak ada yang salah dengan fenomena ini. Lazim dan sah.
Ramalan Leluhur Nusantara tentang Jokowi
Entah kapan awalnya, sosok Jokowi kemudian diasosiasikan sebagai personal yang mewakili ramalan para leluhur Nusantara berabad-abad silam. Jika kita menelisik kearifan lokal raja-raja Jawa dalam ramalan mereka menjelang masa-masa keruntuhannya, kita akan melihat sebuah kesamaan mengenai akan munculnya seorang Satria yang menjadi Ratu Adil, meski disebutkan dengan nama berbeda.
Ratu Adil tersebut disebut oleh Jayabaya dengan nama “Puta Batara Indra”, sementara Prabu Siliwangi menamainya sebagai “Budak Angon” , Ronggowarsito menyebutnya dengan gelaran “Satrio Pinandhito Sinisihan Wahyu”. Semua nama tersebut senafas dengan ramalan Sabdo Palon Noyo Genggong ketika berselisih dengan Prabu Brawijaya.
Dalam Serat Darmagandhul dikisahkan ucapan-ucapan penting Sabdo Palon dalam sebuah pertemuan antara dirinya dengan Sunan Kalijaga dan Prabu Brawijaya di Blambangan yang kini bernama Banyuwangi. Pertemuan ini terjadi ketika Sunan Kalijaga mencari dan menemukan Prabu Brawijaya yang tengah lari ke Blambangan untuk meminta bantuan bala tentara dari kerajaan di Bali dan Cina guna memukul balik serangan putranya, Raden Patah yang telah menghancurkan Majapahit. Namun hal ini bisa dicegah oleh Sunan Kalijaga dan akhirnya Prabu Brawijaya masuk agama Islam. Pada waktu itulah, Punakawan Sabdo Palon kecewa dan menyatakan perpisahannya dengan sang Raja yang telah diasuhnya selama ini karena perbedaan agama. Dalam kesempatan itu Sabdo Palon sempat menyampaikan pandangan batinnya mengenai tanah jawa di masa depan, terutama Mengenai munculnya seorang satria yang kemudian menjadi  mitos di Nusantara dengan nama “Satrio Piningit”.
Saya tidak ingin membedah ramalan tersebut terlalu jauh. Saya hanya menghargai sebuah naskah kuna Nusantara yang mengisahkan sebuah nasihat berisi kekecewaan seorang guru spiritual raja yang akhirnya memutuskan berpisah karena sang raja memeluk agama baru yang menurutnya “kearab-araban”. Dalam naskah tersebut  Sabdo Palon membuka rahasia kepada sang Raja bahwa  dirinya telah berusia 2000 tahun. Selain sebagai orang yang tidak suka dengan ramal-ramalan, sebagai seorang yang cukup rasional, terus terang saya sulit menerima usia “2000 tahun” itu.
Ramalan mengenai Ratu Adil yang “njawani” itu kemudian diasosiasikan sebagai Joko Widodo. Raja dari kampung yang akan memerintah Nusantara menuju kejayaannya kembali. Saya tidak tahu persis apa indikator-indikator sehingga asosiasi tersebut muncul. Namun saya lebih menangkap hal tersebut sebagai sebuah “hysteria massa”. Masyarakat kita sudah terlalu jenuh dengan pemimpin-pemimpin yang formalis, normatif, teroritis, penuh dengan tata aturan protokoler, yang memerintah di balik meja kantor namun jarang turun ke lapangan. Jokowi mengisi dahaga massa itu, dan media massa menggorengnya.
Teori Kultivasi
Masyarakat kita adalah masyarakat media. Apa yang diberitakan media dianggap sebagai realitas yang sesungguhnya. Saya harap rekan-rekan masih ingat bagaimana masyarakat ramai-ramai mendatangi Ponari, dukun cilik dari jawa itu untuk berobat. Bagi saya fenomena itu adalah akibat dari pemberitaan media yang massivemengenai kesaktian batu ajaib produk dari sambaran petir itu. Kasus “kolor ijo” yang suka memperkosa gadis-gadis  untuk memperoleh kesaktian, adalah fenomena lain lagi. Waktu itu, ibu-ibu tetangga rumah minta izin untuk mengambil bambu kuning di halaman rumah saya, ketika saya tanya untuk apa, untuk menhindari kolor ijo, katanya. Saya terkejut dan menyadari betapa pengaruh media begitu memengaruhi mindsetmasyarakat kita.
Dalam teori media massa, fenomena ini masuk ke dalam Teori Kulvitasi (Cultivation Theory), sebuah teori yang pertama kali dikenalkan oleh George Gerbner ketika ia menjadi dekan di Universitas Pennsylvania, Amerika Serikat. Tulisan pertama yang memperkenalkan teori ini adalah “Living with Television: The Violence profile”, Journal of Communication, tahun 60-an. Gerbner mempelajari pengaruh menonton televisi dalam kehidupan masyarakat. Teori ini mendeksripsikan bahwa media menghasilkan sebuah dampak dimana ada sebagian masyarakat yang menganggap dunia nyata (kehidupan sehari-hari) berjalan sesuai dengan dunia yang digambarkan oleh media. Ataupun sebaliknya, menganggap bahwa dunia dalam media itu adalah “realita”. Persis sekali dengan cara sebagian masyarakat Indonesia berinteraksi dengan berita-berita di televisi.
Pun demikian dengan Jokowi, pemberitaan di media secara massive tentang Jokowi yang nyaris tanpa cacat, menghasilkan sebuah ‘histeria massa’ dimana masyarakat mengelu-elukan Jokowi secara berlebihan. Jokowi dianggap sebagai Satrio Piningit tanpa cacat, sosok sempurna, Hercules setangah dewa, bahkan pengulutusanya nyaris seperti “menabikan” Jokowi.
Pakar Psikologi Politik UI Hamdi Muluk mengkhawatirkan nama Gubernur DKI Joko Widodo yang merajai hasil survei karena tidak ada pesaing yang dapat menandingi mantan wali Kota Solo itu.
“Saya khawatir dengan fenomena ratu adil. Sepertinya Jokowi jadi manusia setengah dewa. Ini capres setengah dewa tidak sehat jangan terjebak dengan mitos ratu adil,”katanya.
Jangan terkejut Jika kita mengetik kata: “Nabi Jokowi”, pada search engine paling popular, Google, akan muncul 3,250,000 hasil dalam 0, 34 detik! Padahal prestasi Jokowi sejauh ini (mohon maaf jika kurang berkenan bagi beberapa pihak) juga belum terlalu signifikan. Macet dan banjir belum ada perubahan dibanding masa-masa ketika DKI dipimpin oleh Gubernur sebelumnya, bahkan sejujurnya: Cenderung meningkat.
Pengultusan Jokowi seumpama nabi bahkan cenderung menjadi tidak sehat ketika ada artikel-artikel di media online yang mengekritik Jokowi. Dalam banyak forum, komentar dari para Jokowi Lovers nampak sudah masuk dalam zona yang tidak lagi rasional. Kita mungkin dapat memahami fenomena ini sebagai sebentuk harapan masyarakat terhadap Jokowi, namun kita perlu juga fahami bahwa Jokowi adalah manusia biasa yang juga membutuhkan kritik dan saran, mengutip Dorce Gamalama, “tidak ada manusia yang sempurna, yang sempurna hanya Tuhan”

Menjadikan Jokowi seperti Nabi adalah hal yang berbahaya, selain bagi agama yang melarang kultus individu, juga berbahaya bagi iklim demokrasi kita. Karena demokrasi adalah sistem politik dimana kita diharuskan menerima ragam pendapat, menerima atau legawa jika pilihan kita tidak sesuai dengan keinginan mayoritas masyarakat lain. Saya khawatir, secara psikologis, kecintaan yang compulsiveterhadap Jokowi melahirkan “frustasi massa” seandainya manusia setengah dewa itu tak kunjung menjadi pemimpin di negeri ini, entah karena kendaraan politik yang tak kunjung merestuinya, atau ada momentum lain yang melahirkan tokoh alternatif selainnya
Salam hangat.
@mistersigit

Source : sosbud.kompasiana.com

No comments:

Post a Comment