Latest News

Tuesday, 30 September 2014

Keputusan DPR pada sidang RUU Pilkada bisa dinyatakan TIDAK SAH.






Jokowi Naik Kijang, Ketua DPD Geleng Kepala

Jokowi

Jokowi (Liputan6.com/ Muchtadin)

Jokowi Naik Kijang, Ketua DPD Geleng Kepala


Jakarta - Ketua Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) Irman Gusman tidak menyangka Presiden terpilih Joko Widodo (Jokowi) mengendarai mobil Kijang Innova alih-alih mobil sedan kepresidenan.

Irman sangat terkejut saat mengantar Jokowi meninggalkan Gedung Nusantara IV tempat diselenggarakannya acara peringatan Satu Dasawarsa DPD RI, Senin (30/9/2014).

"Presiden naik mobil ini, Pak?" tanya Irman pada Jokowi sambil menunjuk mobil Kijang Innova yang sudah siap menjemput Jokowi.

Irman terlihat kaget saat melihat Jokowi berjalan ke arah mobil Kijang Innova bernomor polisi B 1124 BH. Jokowi yang sedang berbincang dengan Wakil Presiden terpilih Jusuf Kalla (JK) tidak mendengar pertanyaan Irman.

Irman bertanya lagi pada Jokowi untuk kedua kalinya. "Ya iya," jawab Jokowi sambil masuk ke dalam mobil. Irman menatap heran ke arah mobil Jokowi dan menggeleng-gelengkan kepalanya.

Senin sore itu, Jokowi menghadiri peringatan satu dasawarsa DPD RI bersama Jusuf Kalla, Wakil Presiden Boediono, Ketua DPR RI Marzuki Alie, Ketua DPD RI Irman Gusman, serta anggota Dewan Perwakilan Daerah Gusti Kanjeng Ratu Hemas.

Meski telah difasilitasi mobil kepresidenan berupa mobil Mercy, Jokowimasih sering terlihat menggunakan Kijang Innova hitam itu yang biasa digunakannya beraktivitas sebagai Gubernur DKI Jakarta, termasuk untuk blusukan. (Ant)
Credit: Rizki Gunawan
Source : Liputan6.com, 


Mario Teguh: Perhatikanlah, orang-orang tidak jujur berteman dengan orang yang mudah berkhianat "



Ketidak-jujuran adalah kebodohan yang maksimal.
Perhatikanlah, orang-orang tidak jujur berteman dengan orang yang mudah berkhianat  (Mario Teguh)

Ahok : "SANTUN adalah berjuang mewujudkan keadilan sosial buat Rakyat".



Bagi Saya definisi SANTUN adalah berjuang mewujudkan keadilan sosial buat Rakyat, tidak mencuri uang rakyat itu namanya SANTUN,kalau cuman ngomongnya doang yang SANTUN tapi mencuri itu namanya BAJINGAN,BANGSAT !





" Pemimpin yang sejati adalah pemimpin yang dicalonkan oleh Rakyat, BUKAN mencalonkan atas keinginan pribadinya ! "



MK Harus Besar Batalkan Pemilihan Kepala Daerah Melalui DPRD, apabila SBY menanda tanganin UUD Pilkada Tak Langsung !

Hak konstitusional warga negara untuk memilih dan dipilih.
hak konstitusional yang merupakan hak berpartisipasi to vote and to be vote (dipilih dan memilih). Kalau melalui DPRD, hak yang sudah diberikan ke rakyat untuk memilih hilang. Begitu juga untuk mereka yang ingin jadi kandidat, hilang karena tidak ada lagi calon independen.
Pasal 18 Ayat 4 UUD 1945 yang berbunyi: "Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis". ( Pengamat Hukum Tata Negara Refly Harun )


Source: https://www.facebook.com/photo.php?fbid=856296864415278&set=gm.384813381701964&type=1&theater

Sunday, 28 September 2014

UU Pilkada Bukan Lagi Tarung KMP vs Jokowi, Tapi KMP vs Rakyat

UU Pilkada Bukan Lagi Tarung KMP vs Jokowi, Tapi KMP vs Rakyat


Jakarta - Perbedaan pendapat saat sidang paripurna DPR RI terkait RUU Pilkada terjadi antara partai-partai Koalisi Merah Putih (KMP) dan koalisi pendukung Jokowi. Namun, pertarungan sebenarnya di sidang itu terjadi antara KMP dan rakyat. 

"Sebetulnya yang terjadi bukan persaingan antara KMP dan (Koalisi) Indonesia Hebat. Tanggal 26 itu adalah kekalahan rakyat Indonesia terhadap KMP. Jadi KMP bisa disebut melawan kehendak rakyat Indonesia," ujar Ray Rangkuti. 

Hal ini disampaikan Ray dalam diskusi bertajuk "Ditemukan: Dalang Pilkada Tak Langsung dari Gerakan Dekrit Rakyat Indonesia" di Kafe Tong Tji, Menteng Huis, Jalan Menteng Raya, Jakarta Pusat, Minggu (28/9/2014). Ray juga merasa miris ketika mendengar Prabowo Subianto dan Amien Rais bersujud syukur atas kekalahan demokrasi rakyat Indonesia ini. 

Menurutnya, RUU Pilkada ini telah mengembalikan sistem pilkada ke masa Orde Baru. "Pak Prabowo, Amien Rais, Ical, yang Anda kalahkan bukan Megawati. Tapi 80 persen rakyat Indonesia," tegasnya. 

Tak hanya itu, Ray mengaku curiga dengan niatan Partai Demokrat (PD) mengajukan gugatan ke MK. Sebab, melihat tak ada aksi nyata yang dilakukan partai berlambang mercy itu dalam rangka menunjukkan sikap penolakan terhadap pilkada tak langsung. Karenanya, niatan ini menjadi tak masuk akal dan menyebutnya sebagai drama baru Partai Demokrat. 

"Saya khawatir poin-poin yang akan diajukan Partai Demokrat atau Pak SBY adalah poin-poin yang bisa juga dijadikan MK untuk tidak mengabulkan permohonan. Jadi tuntutan poin-poin SBY dibuat selemah mungkin sehingga MK memutuskan DPR sah," kata Ray. 

"Kalau mendukung dengan tulus mestinya medukung pilkada langsungnya, baru disusul 10 poin. Ini kebalikannya. Demokrat dari awal mendahulukan cabang lalu membuang batangnya. Tidak ada niat baik dan tulus," ujarnya.

Sourc : detiknews.com



Jokowi Siapkan Perlawanan terhadap UU Pilkada

Jokowi--MI/Ramdani

Jokowi Siapkan Perlawanan terhadap UU Pilkada


Jakarta: Joko Widodo menyerukan masyarakat untuk mencatat dan mengingat partai mana saja yang mendukung pemilihan kepala daerah (Pilkada) melalui DPRD.

"Rakyat harus mencatat, partai-partai mana saja yang merebut hak-hak politik rakyat. Masyarakat harus catat," kata Jokowi usai menghadiri acara pembukaan Rakornas PKPI di Hotel Royal Kuningan, Jakarta Selatan, Jumat, (26/9/2014).

Ini merupakan bentuk kekecewan Jokowi terhadap putusan Sidang Paripurna di DPR semalam. Kendati demikian, Jokowi telah menyiapkan ancang-ancang untuk melakukan perlawanan di pemerintahan mendatang.

"Tentunya nanti ada langkah-langkah selanjutnya, tapi nanti, nanti," jawab dia singkat.

Jokowi meyakini bahwa pejabat daerah hasil pemilihan DPRD akan lebih korup ketimbang dipilih langsung oleh rakyat. "Saya pastikan yang memilih (kepala daerah) melalui dewan lebih korup," tutur politikus PDI Perjuangan itu.

Sebelumnya UU Pilkada disahkan melalui proses voting di Sidang Paripurna DPR, dimana 135 anggota dewan mendukung sistem pilkada langsung, sedangkan 226 anggota fraksi partai yang tergabung dalam Koalisi Merah Putih memilih sistem pilkada melalui DPRD.

Source : http://news.metrotvnews.com/read/2014/09/26/297095/jokowi-siapkan-perlawanan-terhadap-uu-pilkada

Nudirman: Saya Pilih Rakyat Ketimbang Partai Golkar

Nudirman Munir (kanan)--Antara/Yudhi Mahatma

Nudirman: Saya Pilih Rakyat Ketimbang Partai Golkar


Jakarta: Politikus senior Partai Golongan Karya Nudirman Munir memastikan dirinya bersama 10 kader Golkar, siap dipecat dari keanggotaan Partai Golkar karena mendukung opsi pilkada langsung dalam Sidang Paripurna DPR, Jumat, 26 September.

Nudirman yang awalnya ditugaskan sebagai corong partai untuk menolak RUU Pilkada, mengaku berubah sikap mendukung pilkada langsung oleh rakyat setelah hati nuraninya mengatakan jika pemilu tidak langsung, sama dengan merampok hak suara rakyat dan membawa demokrasi Indonesia kemasa lalu.

"Saya lebih memilih rakyat ketimbang Partai Golkar, DPP (Golkar) seharusnya ikut menolak jika mau sesuai dengan marwahnya , suara Golkar suara rakyat," ujar Nudirman kepada Metro Tv, di Jakarta, Sabtu (27/9/2014).  
 
Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Golkar ini memastikan tekadnya sudah bulat untuk mendukung pilkada langsung oleh rakyat, meski DPP Golkar sudah mengultimatum seluruh kadernya agar mendukung pilkada melalui DPRD.
 
Dia mengaku tahu dan sadar akan konsekuensi yang akan dijatuhkan oleh partai berlambang pohon beringin itu kepadanya, yaitu pemecatan secara tidak hormat sebagai kader partai.
 
Dia menilai Golkar hanya mampu memecat statusya sebagai kader partai, tapi tidak dapat memecat hati nuraninya sebagai orang Golkar yang memegang teguh prinsip dasar partai, yaitu suara Golkar suara rakyat.
 
Menurutnya Golkar telah dipengaruhi keinginan segelintir elite Golkar untuk mendukung pilkada tidak langsung, padahal pilkada tidak langsung jelas-jelas bertentangan dengan semangat atau prinsip dasar Partai Golkar yaitu suara Golkar suara rakyat.

Source : http://news.metrotvnews.com/

ISIS Siapkan Wabah Pes Sebagai Senjata Pemusnah Massal?

Para pejuang Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) berpawai di kota Tel Abyad, Suriah, (2/1). (Reuters/Yaser Al-Khodor)

ISIS Siapkan Wabah Pes Sebagai Senjata Pemusnah Massal?


 Sebuah dokumen yang ditemukan pada laptop milik seorang pejuang Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) mengungkap satu lagi rencana mengerikan kelompok radikal tersebut. Dalam dokumen itu disebutkan bahwa ISIS sedang mencari senjata pemusnah massal.
Sebagaimana dilansir oleh majalah Foreign Policy, laptop yang ditemukan oleh seorang pemberontak Suriah itu berisi langkah-langkah untuk mengembangbiakkan virus pes dari hewan yang terjangkit dan bagaimana cara menggunakannya sebagai senjata. Dalam salah satu dokumen disebutkan, “Keuntungan senjata biologi adalah tidak membutuhkan banyak biaya namun jumlah korban jiwa yang jatuh bisa banyak”.
Disebutkan pula, granat-granat yang diisi dengan virus diledakkan di tempat-tempat umum seperti stadion olah raga dan stasiun kereta api. Bahkan, dikatakan bahwa serangan bisa pula dilakukan dengan cara bom bunuh diri.
“Sebaiknya (serangan) dilakukan dekat dengan saluran air conditioning (ac),” bunyi petikan dokumen tersebut.
Laptop yang ditemukan itu diyakini kepunyaan seorang militan asal Tunisia. Ia diduga mempelajari ilmu kimia dan fisika sebelum bergabung dalam perang Suriah. Hingga kini, keberadaannya masih belum diketahui.
Memang, belum ada bukti yang menununjukkan bahwa ISIS sedang mengembangkan senjata biologi pemusnah massal. Namun, kekhawatiran pun muncul setelah kelompok radikal itu merebut sebuah pusat senjata kimia di Irak, bulan lalu.
Wabah pes, yang juga dikenal dengan sebutan Black Death, pernah muncul pada abad ke-14. Ketika itu, wabah pes menelan korban 30 juta jiwa. (Metro)
Source : Suara.com

Friday, 12 September 2014

Kisah Bupati Solok "Dipalak" Anggota Dewan Saat Pilkada Melalui DPRD


Kisah Bupati Solok

Kisah Bupati Solok "Dipalak" Anggota Dewan Saat Pilkada Melalui DPRD

Kamis, 11 September 2014
 JAKARTA - Bupati Solok, Sumatera Barat, Syamsu Rahim menceritakan dirinya sewaktu mengikuti pemilihan kepala daerah yang dipilih oleh DPRD. Dirinya harus menyetor uang ke anggota DPRD dan partai pengusungnya agar menang dalam Pilkada.
"Saya sudah berapa kali ikut pemilihan, ketika anggota dewan memilih, itu uang. Partai dibeli, anggota dewan dibeli, akhirnya kalah karena dihimpit oleh orang lain yang lebih besar," kata Syamsu di acara pertemuan pertemuan Apkasi dan Apeksi tolak RUU Pilkada di Hotel Sahid, Jakarta, Kamis (11/9/2014).
Menurut Syamsu, peristiwa anggota DPRD meminta uang terjadi pada 2003 ketika maju sebagai kepala daerah di Sawahlunto. Dirinya diminta uang sebesar Rp250 juta untuk masing-masing anggota DPRD yang memilihnya.
"Karena tidak punya uang, saya kalah. Itu belum partai, belum lagi fraksinya. Dulukan pemilihan itu ada fraksi TNI Polri, Parpol, ketika saya berkoalisi dengan yang bukan partai saya sekarang (Golkar) kita harus membayar kepada mereka," tuturnya.
Dengan demikian, Syamsu yang menjabat Bupati Solok periode 2010-2015 berharap RUU Pilkada tidak disahkan, guna menghindarkan peristiwa-peristiwa seperti tersebut. "Kepala Daerah harus dipilih rakyat, kalau tidak mau kembali ke zaman orde baru," cetusnya.
Syamsu sebelum menjabat sebagai Bupati Solok, dirinya pernah duduk menjadi Wali Kota Solok periode 2005-2010. Saat ini dirinya berpasangan dengan Desra Ediwan Anantanur sebagai Wakil Bupati.

Thursday, 11 September 2014

Menebak Nasib Koalisi Merah Putih


Menebak Nasib Koalisi Merah Putih


Salah satu hal yang menarik di tengah hiruk pikuk presiden dan wakil presiden terpilih, Jokowi-JK beberapa waktu lalu adalah manuver partai-partai politik yang tergabung dalam Koalisi Merah Putih (selanjutnya KMP) pascakekalahan Prabowo-Hatta di MK. Beberapa waktu lalu partai-partai politik yang tergabung dalam KMP tersebut mendeklarasikan diri membentuk koalisi permanen. Pembentukan koalisi permanen itu sendiri memunculkan pertanyaan dari banyak pihak soal apakah koalisi permanen itu mungkin?
Pada dasarnya koalisi partai politik mempunyai dua tujuan utama, yaitu, pertama,menggalang kekuatan dan dukungan dalam mengusung serta memenangkan seorang calon. Kedua,  memperkuat posisi pemerintah serta mengamankan jalannya suatu pemerintahan. Artinya, koalisi tersebut mesti bertujuan untuk memeroleh dukungan politis atas berbagai kebijakan dan keputusan pemerintah/presiden. Koalisi yang kuat memungkinkan presiden dapat menjalankan pemerintahan dengan baik. Koalisi tanpa tujuan untuk merebut kekuasaan dan mengamankan proses suatu pemerintahan sangat tidak mungkin.
Koalisi juga dilihat sebagai suatu persekutuan atau gabungan beberapa unsur yang dalam kerja sama memiliki kepentingan masing-masing. Persekutuan seperti ini bersifat sementara dan mempunyai asas manfaat di dalamnya. Unsur kepentingan tersebut seperti merebut kekuasaan, sementara unsur manfaat seperti memperkuat posisi suatu pemerintahan. Inilah faktor penentu suatu koalisi. Karena itu, ketika suatu koalisi kalah dalam pertarungan perebutan kekuasaan, maka dapat dipastikan koalisi tersebut akan bubar.
Dalam konteks Indonesia dengan sistem presidensial yang mana posisi DPR memunyai pengaruh yang kuat, koalisi tersebut mutlak diperlukan. Suatu pemerintahan yang didukung oleh anggota dewan yang kuat niscaya memudahkan presiden dalam mengambil keputusan/kebijakan. Karena itu, suatu pemerintahan akan semakin kuat dan kokoh bila didukung oleh koalisi yang kuat dan kokoh.
Koalisi partai politik bukanlah sesuatu yang otomatis. Dan, bertahan tidaknya suatu koalisi sangat tergantung dari tercapai tidaknya tujuan yang dikejar (kekuasan). Karena itu, koalisi yang kalah dalam pertarungan dapat dipastikan akan segera bubar. Dengan demikian, KMP yang menyatakan diri sebagai koalisi permanen, tidak akan berumur panjang.
Paling tidak ada tiga hal yang menarik disimak dari KMP. Pertama, sebelum tanggal 9 Juli yang lalu KMP sangat solid. Namun, setelah KPU menetapkan pasangan Jokowi-JK sebagai pemenang pemilu, beberapa partai penyokong koalisi ini (Demokrat, Golkar, dan PPP) mulai merapat ke kubu Jokowi-JK. Manuver putar haluan partai KMP pimpinan partai Gerindra tersebut semakin jelas pascaMahkamah Konstitusi (MK) memutuskan menolak seluruh gugatan Prabowo-Hatta. Agung Laksono dan Siswono Yudho Husodo (Golkar) misalnya, menyatakan siap bergabung dengan pemerintahan Jokowi-JK. Apalagi partai Golkar berencana mengadakan musyawarah nasional yang disinyalir menjadi kesempatan untuk menggulingkan Aburizal Bakrie yang dianggap gagal.
Kedua, beberapa anggota partai penyokong KMP secara terbuka mengakui kemenangan pasangan Jokowi-JK setelah melihat hasil perhitungan sejumlah lembaga survei serta rekapitulasi data yang masuk oleh KPU. Politisi muda PAN, Hanafi Rais, misalnya, memberikan ucapan selamat kepada pasangan Jokowi-JK. Hanafi menyatakan bahwa Jokowi-JK adalah pasangan yang akan memegang tampuk kepemimpinan Indonesia untuk 5 tahun mendatang (Liputan6.com/20/7/2014). Hal ini menunjukkan tidak adanya kekompakan di antara partai pendukung KMP.
Ketiga, mundurnya Mahfud MD sebagai ketua pemenangan Prabowo-Hatta. Mundurnya Mahfud bukan tidak mungkin menjadi pukulan telak bagi kubu Prabowo, pasalnya mantan ketua Mahkamah Konstitusi (MK) tersebut mundur di tengah upaya Prabowo-Hatta menggugat keputusan KPU ke MK. Mahfud sendiri menegaskan bahwa gugatan kubu Prabowo-Hatta tidak didukung oleh data yang valid, sehingga akan sangat sulit dikabulkan oleh MK. Menanggapi pernyataan Mahfud tersebut, sekretaris tim pemenangan Prabowo-Hatta, Idrus Marham, menegaskan bahwa KMP sama sekali tidak mempercayai Mahfud MD. Mahfud pun dicurigai sebagai orang yang sengaja disisipkan ke dalam kubu Prabowo-Hatta. Kenyataan tersebut bisa menjadi pratanda keruntuhan KMP. Karena itu, kematian koalisi ini hanya tinggal menghitung hari.
Hemat saya, ada beberapa sebab KMP tidak akan bertahan lama. Pertama, terjadi ‘perpecahan’ antara Prabowo Subianto dengan Hatta Rajasa. Perpecahan ini dapat dibaca dari perbedaan sikap antara Hatta Rajasa dengan Prabowo Subianto terhadap keputusan MK. Setelah MK memutuskan menolak seluruh gugatan Prabowo-Hatta, Prabowo disebut marah-marah. Sikap Prabowo tersebut menimbulkan tanda tanya yang besar dalam diri Hatta Rajasa. Hatta yang sudah bulat menerima apapun keputusan MK bersungut-sungut dan mempertanyakan sikap Prabowo dengan mengatakan, “Sampai kapan begini terus?” Reaksi Hatta sangat wajar sebab Prabowo berkali-kali menegaskan akan menerima apapun keputusan MK.
Kedua, Prabowo tidak menunjukkan sikap seorang negarawan dalam menerima keputusan MK. Prabowo juga menuding ketua-ketua partai penyokong KMP telah berkhianat dan mendukung Jokowi-JK. Hal ini tentu akan berujung pada hilangnya daya tarik Prabowo terhadap partai penyokong KMP. Pada gilirannya beberapa partai penyokongnya akan merapat ke kubu Jokowi-JK.
Ketiga, kubu Jokowi-JK membuka pintu bagi partai KMP untuk bergabung. Tawaran dari kubu Jokowi-JK bukan tidak mungkin membuat beberapa partai yang selama ini menunjukkan gelagat lompat pagar akan segera menyeberang ke kubu Jokowi. Bahkan beberapa partai disebut sudah melakukan pendekatan dengan kubu Jokowi-JK.
Keempat, KMP tidak dibangun atas ideologi yang sama. Pengamat politik CSIS, J. Kristiadi menegaskan bahwa KMP lebih dibangun atas dasar pragmatisme politis. Idealnya, koalisi antara partai politik terjadi antara partai berideologi sama. Koalisi tanpa berbasiskan ideologi yang sama hanya akan memunculkan kepentingan yang pragmatis. Inilah model koalisi nol orientasi. Koalisi seperti ini akan mengalami kematian sebelum waktunya dan inilah yang akan dialami oleh KMP.*

Benny Obon
Mahasiswa Filsafat pada STF Ledalero

Ahok: Saya Maunya Jadi Budak Rakyat

Ahok: Saya Maunya Jadi Budak Rakyat

Wakil Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama mencoba mengemudikan taksi lifecare untuk difabel didampingi Direktur Utama PT Blue Bird, Purnomo Prawiro (kiri) saat meresmikan pengoperasian layanan taksi tersebut di Balai Kota DKI Jakarta, Jakarta Pusat, Rabu (10/9/2014). Layanan inovatif dari PT Blue Bird merupakan layanan taksi pertama di Indonesia yang di desain khusus bagi penyandang difabel, ibu hamil, dan lansia. TRIBUNNEWS/HERUDIN 

Ahok: Saya Maunya Jadi Budak Rakyat


JAKARTA - Wakil Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama atau yang karib disapa Ahokmengaku tidak akan berubah dengan sikapnya menolak pemilhan kepala daerah melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).
Apapun komunikasi dan bujukan yang disarangkan kepadanya, Ahok mengaku tidak akan mengubah sikapnya tersebut.
"Saya tetap akan menolak, meskipun nanti terpilih menjadi gubenur hasil  pemilihan DPRD. Karena  nanti saya akan menjadi budak DPRD. Saya maunya jadi budak rakyat," ujarAhok di Balai Kota, Jalan Medan Merdeka Selatan, Kamis (11/9/2014).
Ahok mengatakan salah apabila orang yang mendukung Pilkada tidak langsung beranggapan suara DPRDmerepresentasikan suara rakyat. Suara rakyat yang diwakilkan sesuai dengan prinsip keterwakilan pada sila ke empat Pancasila.
" Masalahnya mereka menafsirkan tentang kita ini keterwakilan, sila keempat Pancasila. Kalau anda mengatakan seperti itu saya juga akan mengatakan berarti pemilu presiden juga tidak boleh langsung," ujar Ahok.
 Apabila logika pemikiran yang digunakan tetap berkeras seperti itu, Ahok meminta semua partai politik yang  mendukung pemilihan DPRD  harus menarik  kader partainya yang telah menjadi kepala daerah.
"Harusnya mereka (partai) menyuruh kadernya yang sudah jadi kepala daerah untuk mundur  dong, itu baru  konsisten," ujar Ahok.

Laporan Wartawan Tribunnews, Taufik Ismail
TRIBUNNEWS.COM, 
http://www.tribunnews.com/metropolitan/2014/09/11/ahok-saya-maunya-jadi-budak-rakyat


Ahok Ancam Tak Tanda Tangan Surat Usulan Cawagub DKI

Ahok Ancam Tak Tanda Tangan Surat Usulan Cawagub DKI

Liputan6.com, Jakarta - Ahok yang sebentar lagi duduk di kursi gubernur mengancam akan menolak menandatangani surat usulan calon Wakil Gubernur DKI Jakarta penggantinya bila DPRD DKI Jakarta mempersulit langkahnya duduk di kursi DKI 1. Ahok akan menggantikan Jokowi sebagai Gubernur DKI Jakarta.

"Saya nggak mau tanda tangan, biarin aja," ucap pria bernama lengkap Basuki Tjahaja Purnama yang masih menjabat sebagai Wagub DKI Jakarta itu di kantornya, Balaikota, Rabu (10/9/2014).

Apalagi, Ahok menyatakan, dirinya tidak memerlukan wagub untuk mendampinginya menjalankan roda pemerintahan Provinsi DKI Jakarta selama 3 tahun mendatang. Hal itu karena mantan Bupati Belitung Timur tersebut tak ingin mendapatkan sosok wagub yang tak sesuai dengan kriterianya. 

Ahok ingin wagub-nya itu sosok yang tak menerima suap, jujur, taat pada konstitusi, dan berani mati dalam melakukan pembangunan di Jakarta. "Biarin sajalah. Bila perlu, nggak usah ada wagub lah di Pemprov DKI. Takutnya, kalau terpilih wagub oleh DPRD DKI, jangan-jangan wagub itu suka melobi-lobi anggota dewan. Saya nggak mau," ujar Ahok.

Dia pun tidak takut menjalankan pemerintahan Jakarta seorang diri. Sebab, selama ini dia sudah sering merasakan bagaimana menjalankan pemerintahanan saat ditinggal Gubernur DKI Jokowi yang mencalonkan diri sebagai presiden hingga terpilih menjadi Presiden RI ke-7.

Ahok juga tak khawatir tidak akan mendapatkan dukungan dari 106 anggota DPRD DKI Jakarta. Sebab, tidak semuanya anggota dewan buruk. Tetapi ada cukup banyak anggota dewan yang mempunyai hati nurani untuk memperjuangkan nasib rakyat.

"Saya pasti dapat dukungan meski saya sudah keluar dari Partai Gerindra. Kan tidak semuanya anggota DPRD DKI buruk, masih banyak anggota dewan yang punya hati nurani untuk rakyat," tandas Ahok. (Mut)
Credit: Nadya Isnaeni
Source : http://news.liputan6.com/read/2103562/ahok-ancam-tak-tanda-tangan-surat-usulan-cawagub-dki

Sang Pemimpin Selalu Dekat Dengan Rakyat Dan Memperhatikan Kepetingan Rakyat

Kantor Ahok 'Diacak-acak' Redaksi Liputan6.com

Kantor Ahok 'Diacak-acak' Redaksi Liputan6.com
Salah satu tim Social Media Liputan6.com ikut eksis berfoto bersama sang Wakil Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (9/9/14). (Liputan6.com/Johan Tallo)

Kantor Ahok 'Diacak-acak' Redaksi Liputan6.com

Kantor Ahok 'Diacak-acak' Redaksi Liputan6.com

Kantor Ahok 'Diacak-acak' Redaksi Liputan6.com

Kantor Ahok 'Diacak-acak' Redaksi Liputan6.com

Kantor Ahok 'Diacak-acak' Redaksi Liputan6.com

Kantor Ahok 'Diacak-acak' Redaksi Liputan6.com

Kantor Ahok 'Diacak-acak' Redaksi Liputan6.com



Source:
http://foto.liputan6.com/show/1/2103316/734946/kantor-ahok-diacak-acak-redaksi-liputan6com













Pengamat LIPI: Ahok Sebaiknya Fokus Urusan Pemprov DKI

Ahok menegaskan dirinya sudah mempersiapkan surat pengunduran diri yang akan dikirimkan hari ini juga ke Dewan Pengurus Pusat (DPP) Gerindra, Jakarta, Rabu (10/9/2014) (Liputan6.com/Johan Tallo)

Pengamat LIPI: Ahok Sebaiknya Fokus Urusan Pemprov DKI

 Jakarta - Wakil Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok mundur dari Partai Gerindra. Ahok mundur lantaran tak lagi sejalan dengan partainya, terkait Rancangan Undang-undang Pemilihan Kepala Daerah (RUU Pilkada) yang memilih kepala daerah melalui DPRD.
Pengamat politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Siti Zuhro menilai, mantan Bupati Belitung Timur itu tak perlu menyampaikan penolakan RUU Pilkada tersebut ke publik.
"Sampaikan dan selesaikan uneg-unegnya itu di internal partai, tak perlu melibatkan publik dalam urusan kemundurannya dari Gerindra," kata Zuhro dalam pesan singkatnya kepada Liputan6.com di Jakarta, Rabu (10/9/2014).
"Ahok sebaiknya fokus saja ke urusan-urusan yang menjadi domainnya di Pemprov DKI," sambung Zuhro.
Menurut Zuhro, Ahok seharusnya tidak menambah beban politik di Jakarta dengan penolakan RUU Pilkada itu. Sebab kematangan Ahok saat ini sangat diperlukan untuk menggantikan Joko Widodo sebagai Gubernur DKI dari pada menonjolkan sikap 'sok jagoan'.
"Jakarta kan telah ditinggalkan Jokowi, mestinya jangan ditambah lagi beban politik di DKI Jakarta dengan konflik dirinya dengan Gerindra. Kematangan, keteladanan Ahok diperlukan sebagai pejabat publik," kata.
"Bukannya sikap-sikap jagoan yang mengesankan dirinya sebagai sang pemberani. Ini akan mengesankan hal sebaliknya tentang Ahok, yang sejak awal sebenarnya menimbulkan kontroversi di DKI Jakarta," tandas Zuhro.
Ahok telah mengirimkan surat pengunduran diri kepada DPP Partai Gerindra siang tadi. Karena padatnya jadwal kerjanya, Ahok meminta 2 stafnya mengantarkan surat itu ke kantor DPP Gerindra.
"Sudah saya kirim. Ini tanda terima surat. Saya suruh staf ke sana untuk anterin surat," ucap Ahok di Balaikota Jakarta.
Menurut Ahok, Partai Gerindra sudah tidak sejalan lagi dengan dirinya. Sebab, partai berlambang kepala garuda merah itu mendukung kepala daerah dipilih oleh DPRD. Sementara dirinya secara pribadi menolak perubahan mekanisme itu, karena menganggap akan merugikan rakyat. (Mut)

Liputan6.com,
http://news.liputan6.com/read/2103563/pengamat-lipi-ahok-sebaiknya-fokus-urusan-pemprov-dki

Jokowi Heran Biaya Rapat Kementerian di RAPBN Capai Rp 18 T

Jokowi heran dengan besarnya anggaran rapat kementerian dalam RAPBN 2015 (Liputan6 TV)

Jokowi Heran Biaya Rapat Kementerian di RAPBN Capai Rp 18 T

Liputan6.com, Jakarta - Presiden terpilih Joko Widodo atau Jokowi menegaskan dirinya akan memotong anggaran rapat seluruh kementerian sebesar Rp 18 triliun yang masuk dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2015. Jokowimenilai anggaran rapat dengan jumlah tersebut terlalu besar dan sebagai bentuk pemborosan. 

"Masa rapat segitu, itu rapat apa? Sampai 18 triliun. Ya ketinggian sekali, masa sampai segitu jumlahnya," ujar Jokowi di Balaikota, Jalan Medan Merdeka Selatan, Jakarta Pusat, Rabu, (10/9/2014). 

Menurut Jokowi, anggaran rapat dengan jumlah hingga Rp 18 triliun terlalu tinggi. Ia pun menilai semestinya biaya rapat kementerian dapat ditekan dan tidak perlu mengeluarkan dana yang besar.

"Ya rapat kan nggak perlu makan, nggak perlu minum, ngomong-ngomong saja. Tapi untuk urusan ini saya belum ngerti. Kalau belumngerti saya nggak mau ngomong dulu," ucap dia.

Ia pun meminta agar rapat-rapat kementerian tidak dilakukan di hotel-hotel berbintang atau ruang pertemuan yang harus mengeluarkan biaya sewa yang mahal. "Sekarang saya tanya, kementerian ada ruangan nggak? Lah iya, sudah. Rapat ya di kantor, di mana lagi?" kata Jokowi. 

Jokowi pun mengungkapkan, di masa pemerintahannya nanti dirinya akan banyak memangkas anggaran yang dirasa menjadi sumber pemborosan. Beberapa mata anggaran yang disebut Jokowi yaitu biaya perjalanan dinas dan anggaran rapat kementerian.

"Itu saya rasa yang akan dipotong ya dana-dana seperti itu, anggaran rapat, perjalanan dinas. Hal-hal seperti itu yang perlu diefisienkan. Apalagi cash flow kita dalam kondisi berat, memang harus dilihat secara detail kalau mau menganggarkan seperti itu, sesuatu harus dilihat secara detail. Sehingga bisa terlihat logis atau tidak logis. Nalar atau nggak nalar," ujar Jokowi.‎

Sebelumnya, Tim Transisi Jokowi-JK yang telah membedah RAPBN 2015 menemukan beberapa mata anggaran yang dinilai menjadi sumber pemborosan. Di antaranya anggaran rapat kementerian dan instansi yang jumlahnya sebesar Rp 18,1 triliun dan biaya perjalanan dinas kementerian yang jumlahnya mencapai Rp 15,5 triliun.‎

"2 Pos itu menyumbang pemborosan anggaran sampai Rp 33,6 triliun," ujar Deputi Tim Transisi Jokowi-JK Hasto Kristiyanto. ‎(Ans)
Credit: Rinaldo
http://indonesia-baru.liputan6.com/read/2103637/jokowi-heran-biaya-rapat-kementerian-di-rapbn-capai-rp-18-t

Ahok: Saya Tidak Mau Jadi Budak DPRD

Wakil Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama 'blusukan' ke Kampung Deret Pejompongan, Jakarta Pusat, Minggu (24/8/2014).

Ahok: Saya Tidak Mau Jadi Budak DPRD


JAKARTA,  Wakil Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama mengaku dalam keadaan waras ketika mengajukan pengunduran diri sebagai kader Partai Gerindra. Sebab, partai berlambang burung garuda itu mendukung rencana pemilihan kepala daerah oleh DPRD setempat.

Sementara Basuki tidak sepakat dengan rencana Gerindra bersama partai lainnya yang tergabung dalam Koalisi Merah Putih. 

"Saya ini orang yang paling bisa mengendalikan diri, waras. Kamu lihat wajah saya, sadar kan? Saya tidak mau dan tidak bisa jadi budak DPRD," kata Ahok, sapaan Basuki, di Balaikota Jakarta, Rabu (10/9/2014). 

Menurut dia, legislatif selaku wakil rakyat hanya bertugas sebagai pengawas kinerja eksekutif. Apabila kinerja eksekutif telah melenceng dari berbagai program unggulan yang ada, legislatif wajib menegur dan mengoreksi pemerintah. Bukan justru menjadi pengontrol kepala daerah dalam merealisasikan berbagai kebijakan unggulan.

Apabila Rancangan Undang-Undang Pilkada disahkan, maka kuasa pemerintahan provinsi berada di tangan DPRD. Kepentingan warga semakin terpinggirkan dengan kepentingan ratusan anggota Dewan.

"Saya tidak mau dikontrol DPRD, hanya rakyat yang bisa mengontrol saya. Saya tidak mau jadi kepala daerah kalau hanya bertanggung jawab kepada DPRD," kata mantan anggota Komisi II DPR RI itu.

Basuki telah mengirimkan surat pengunduran dirinya kepada DPP Gerindra siang tadi. Karena padatnya agenda sebagai Wagub DKI, dia meminta dua orang stafnya untuk mengantarkan surat itu ke kantor DPP Gerindra, Ragunan, Jakarta Selatan.

Sebelumnya diberitakan, usulan pemilihan kepala daerah melalui DPRD tengah dibahas oleh Panja Rancangan Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah (RUU Pilkada) dengan Kementerian Dalam Negeri.

Parpol Koalisi Merah Putih berubah sikap setelah berakhirnya proses pemilu presiden di Mahkamah Konstitusi. Berdasar catatanKompas, pada pembahasan Mei 2014, tidak ada fraksi di DPR yang memilih mekanisme pemilihan Gubernur oleh DPR. 

Namun, sikap parpol Koalisi Merah Putih berubah pada 3 September 2014. Partai Gerindra, Golkar, PAN, PPP, PKS, dan Partai Demokrat memilih mekanisme pemilihan gubernur, bupati, serta wali kota oleh DPRD.

Awalnya, hanya Partai Demokrat dan PKB yang memilih mekanisme dipilih oleh DPRD pada pembahasan Mei 2014. Sikap fraksi lalu berubah pada September 2014. Partai Gerindra, Golkar, PAN, PPP, dan Demokrat juga memilih mekanisme kepala daerah dipilih oleh DPRD.

KOMPAS.com —
Source : http://megapolitan.kompas.com/read/2014/09/10/16225011/Ahok.Saya.Tidak.Mau.Jadi.Budak.DPRD?utm_source=WP&utm_medium=box&utm_campaign=Kknwp

“Bom Waktu” dan Tantangan Buat Pemerintah Baru Jokowi-JK

Satrio-arismunandar-

“Bom Waktu” dan Tantangan Buat Pemerintah Baru Jokowi-JK


Dijadikannya Menteri Energi dan Sumberdaya Mineral (ESDM) Jero Wacik, sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Rabu, 3 September 2014, cukup mengejutkan dari segi timing atau waktu penetapan. Hal ini karena terjadi pada hanya dua bulan sebelum berakhirnya masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Namun, penetapan tersangka terhadap Jero Wacik itu bukan sama sekali tidak terduga. Hal itu jelas jika kita mengikuti langkah KPK sebelumnya. KPK telah mengembangkan penyidikan kasus suap yang menimpa Rudi Rubiandini, Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas). Penetapan Jero Wacik sebagai tersangka adalah hasil dari pengembangan kasus KPK tersebut.
Penetapan status tersangka KPK atas Jero Wacik, yang juga Sekretaris Majelis Tinggi Partai Demokrat, partai yang didirikan dan dipimpin SBY, menjadi pukulan terakhir bagi pemerintahan SBY dan Partai Demokrat. Inilah “kenang-kenangan terakhir” yang mungkin diingat publik dari pemerintahan SBY, meski SBY dengan susah payah telah berusaha menghindarkan “kenangan buruk” terhadap pemerintahannya.
Demi “citra baik,” SBY memilih tidak menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) menjelang berakhirnya masa jabatannya sebagai Presiden RI. SBY tidak ingin dikenang sebagai Presiden yang menaikkan harga BBM, kebijakan yang tidak populer dan biasanya menimbulkan aksi protes serta perdebatan pro-kontra sengit, di penghujung masa jabatannya.
Padahal SBY dan tim ekonominya tahu betul, berdasarkan tren konsumsi BBM bersubsidi yang bisa diprediksi cukup akurat, pada Oktober 2014 kuota subsidi BBM akan jebol. Tak ada lagi alokasi anggaran untuk subsidi BBM. Artinya, subsidi BBM untuk konsumsi November-Desember 2014 adalah nol rupiah. Jika anggaran negara mau diselamatkan, rakyat akan dipaksa untuk mengkonsumsi BBM non-subsidi mulai akhir Oktober 2014. Ada risiko keresahan sosial, polemik, aksi protes, atau politisasi oleh sejumlah kalangan di DPR.  
Tetapi pasca Oktober 2014 itu sudah bukan lagi era SBY, tetapi era pemerintahan baru di bawah Joko Widodo (Jokowi) dan Jusuf Kalla. Jika SBY menaikkan harga BBM sekarang, beban fiskal buat pemerintahan baru di bawah Jokowi-JK akan berkurang. Jokowi-JK butuh ruang fiskal untuk menerapkan program-program ekonomi dan janji-janji masa kampanye yang pro-rakyat. Namun jika SBY menunda-nunda kenaikan harga BBM dengan berbagai alasan, beban fiskal akan meningkat dan tidak menyelesaikan masalah jebolnya kuota subsidi BBM.
Ini hanya menunda-nunda persoalan sehingga terakumulasi semakin besar. Pemerintah Jokowi-JK  yang mulai bertugas di penghujung Oktober akan dipaksa oleh situasi untuk menaikkan harga BBM, pada level persentase yang jauh lebih tinggi, dibandingkan jika pemerintah SBY sudah menaikkan atau “mencicil kenaikan” harga BBM lebih dulu sekarang.
Sebagaimana orang berutang, menunda cicilan utang tidak akan menuntaskan masalah, karena di ujung-ujungnya justru harus membayar cicilan pada tingkatan yang lebih besar. Itulah sebabnya sejumlah pengamat mengatakan, SBY meninggalkan “bom waktu” permasalahan subsidi BBM pada pemerintahan baru Jokowi-JK. SBY lebih mementingkan citra populer pemerintahannya ketimbang mengambil tindakan yang benar, dan bekerjasama dengan pemerintahan baru mengatasi masalah subsidi BBM.
Saya tidak sepakat dengan tudingan bahwa Jokowi-JK ingin mempertahankan “citra populer” dan hanya mau “terima bersih,” dengan mendesak pemerintah SBY agar menaikkan harga BBM atau mengurangi subsidi BBM sekarang. 
Pertama, harus diingat bahwa bahkan pada masa kampanye pemilihan presiden, Jokowi secara terbuka dan tegas mengatakan, ia akan mengurangi bahkan mengakhiri subsidi BBM di masa pemerintahannya. Artinya, sejak awal Jokowi tidak menjual popularitas murahan dengan memberi “angin surga” buat rakyat.
Pemerintah Jokowi-JK tidak akan mempertahankan harga BBM yang ada sekarang selama-lamanya. Itu jelas tidak rasional, tidak mungkin diterapkan karena sangat membebani anggaran negara, dan tidak mendidik buat rakyat. Oleh karena itu, jika pemerintahan Jokowi akan menaikkan harga BBM, hal itu bukan hal baru atau luar biasa, tapi sekadar mewujudkan janji masa kampanye.
Kedua, jika “popularitas” dan “pencitraan” menjadi problem yang dikhawatirkan pihak SBY, pihak Jokowi sebetulnya bisa menawarkan solusi. Misalnya, kenaikan harga BBM itu dideklarasikan sebagai hasil keputusan dan kesepakatan bersama antara Presiden SBY dan Presiden terpilih 2014-2019 Jokowi. Dengan demikian, kedua pihak “berbagi beban politik” bersama, demi suatu kebijakan yang oleh keduanya dianggap tepat untuk kebaikan rakyat di masa depan. Sayangnya, opsi bersama ini juga tidak dipilih oleh SBY.
Oleh karena itu, problem dan tantangan yang harus dihadapi pemerintahan baru Jokowi-JK, akibat kelambanan atau keengganan SBY memikul risiko dan bertindak tegas soal urgensi pengurangan subsidi BBM, menjadi semakin berat. 
Dijadikannya Menteri ESDN Jero Wacik sebagai tersangka pelaku korupsi oleh KPK tentu semakin membuat SBY enggan mengurangi subsidi BBM, mengingat citra pemerintahannya yang sudah terlanjur karut marut oleh skandal korupsi beberapa menterinya.
Di sisi Jokowi sendiri, kini sebagai seorang Presiden terpilih dan pemimpin nasional, ia dituntut untuk membuktikan kepemimpinannya, menghadapi krisis ysang sulit justru di awal pemerintahannya. Tidak ada waktu luang bagi Jokowi-JK untuk bersantai.
Tantangan seorang pemimpin bukanlah pada penanganan isu-isu dengan implikasi ringan yang disukai konstituen. Namun, seorang pemimpin sejati ditantang untuk berani mengambil tindakan penuh risiko yang diyakininya benar, demi kepentingan rakyat banyak, meskipun ia sadar bahwa tindakan itu tidak populer, bahkan di mata konstituennya sendiri.
Dalam hal kenaikan harga BBM, rakyat Indonesia sebetulnya bukannya tidak bisa diajak “berbagi beban” (baca: menderita). Sejarah membuktikan bahkan sejak perang kemerdekaan Republik Indonesia, rakyat Indonesia bersedia menanggung derita, dengan ikut melindungi para pejuang kemerdekaan dari pengejaran pasukan penjajah Belanda. Rakyat bahu-membahu memberikan pasokan logistik untuk para laskar gerilya, yang kemudian menjadi cikal bakal pembentukan Tentara Nasional Indonesia.
Rakyat bersedia berbagi beban demi kemaslahatan bangsa dan negara, asalkan mereka melihat ada semangat kebersamaan dan keadilan dalam “berbagi beban” itu. Mereka mau menanggung susah, asalkan pemerintah dan para pejabatnya juga menunjukkan sikap prihatin yang sama, seperti berperilaku hemat, mengurangi pengeluaran yang tidak urgen, tidak tampil bermewah-mewah, melakukan efisiensi menyeluruh, memberantas korupsi dan penyimpangan lain, dan seterusnya.
Oleh karena itu, rencana menaikkan harga BBM itu harus diimbangi dengan keseriusan dalam memberantas “mafia migas” dan berbagai perilaku korupsi yang merajalela di bisnis migas. Hal-hal semacam ini sudah dipahami oleh Jokowi. Penetapan tersangka korupsi oleh KPK pada Jero Wacik adalah satu contoh, yang harus ditindaklanjuti dengan tindakan tegas lain dalam pemberantasan korupsi.
Program-program kompensasi buat rakyat kecil, yang nafkah hidupnya akan terganggu akibat kenaikan harga BBM itu, juga harus disusun secara jelas, terarah, terukur, dan transparan.  Jika hal-hal ini dilakukan secara serius dan konsisten oleh pemerintah baru Jokowi-JK, rakyat akan menerima kenaikan harga BBM sebagai realitas yang memang perlu dan tidak terhindarkan.
Kenaikan harga BBM adalah sesuatu yang diakui memang kurang menyenangkan, tetapi harus ditanggung bersama demi kebaikan bersama. Tanpa pendekatan “kebersamaan dengan rakyat” semacam ini, kenaikan harga BBM hanya akan menjadi kebijakan tidak populer, dan bahan mainan para politisi yang mencari popularitas murahan. Dan yang terburuk, ia juga tidak memberi nilai lebih buat kepentingan rakyat dan buat kepentingan nasional.
Dalam dua bulan terakhir ini, kita tidak bisa berharap lebih banyak pada rezim SBY. SBY sudah memutuskan untuk “main aman” sampai berakhirnya masa jabatan, Oktober mendatang. Kini harapan bertumpu pada Jokowi-JK. Semoga Jokowi-JK sanggup memikul beban tanggung jawab itu!
(Satrio ArismunandarDoktor Ilmu Pengetahuan Budaya dari UI dan kandidat Komisioner KPK)
Source : http://www.nefosnews.com/post/opini/bom-waktu-dan-tantangan-buat-pemerintah-baru-jokowi-jk

Wednesday, 10 September 2014

Koalisi untuk Kepentingan Siapa?

Koalisi untuk Kepentingan Siapa?

ANDI IRAWAN (DOSEN UNIVERSITAS BENGKULU)

Koalisi untuk Kepentingan Siapa?

Koalisi. Tema ini merupakan isu sentral dalam banyak pembicaraan publik selepas pemilu legislatif 9 April yang lalu. Berkaitan dengan pembicaraan tentang koalisi ini, menurut saya, hal ini tidak boleh dibiarkan hanya menjadi kepentingan elite. Koalisi harus ditempatkan pada wacana publik dan untuk kepentingan publik.
Artinya, dalam konteks ini, publik harus mencermati dan menilai bagaimana para elite itu bermanuver dalam pembentukan koalisi politik mereka, yang dilakukan untuk menentukan pasangan kandidat pemimpin tertinggi eksekutif di negara ini. Kalangan masyarakat madani perlu mengawal agar tujuan pembentukan koalisi tetap dalam lingkup public interest, bukan elite interest. Saya kira penting bagi media cetak ataupun elektronik, para aktivis media sosial, intelektual, mahasiswa, dan para pengamat untuk bersikap kritis terhadap pembentukan koalisi dari sejumlah kekuatan politik. Diduga kuat mereka akan tampil dalam pemilihan presiden 9 Juli mendatang. Jadi, yang perlu dipertanyakan, apakah hal itu berorientasi publik atau tidak?
Isu utama koalisi tidak boleh dibiarkan berkisar tentang siapa yang harus dipasangkan dengan calon presiden tertentu. Tidak pula boleh dibiarkan hal ini hanya berbicara tentang partai apa bergabung kepada partai apa, lalu, berapa poros yang akan hadir dalam konstestasi calon wakil presiden dan calon presiden 9 Juli nanti. Sebab, ketika hanya berbicara masalah itu, tidak akan ada titik temunya dengan kepentingan publik.
Kita harus mengupayakan bahwa koalisi yang terbentuk akan memberi ekspektasi positif tentang Indonesia selama 2014-2019. Sebagai contoh, apa kontribusi koalisi yang terbentuk terhadap masalah kesejahteraan rakyat, khususnya dalam aspek kesenjangan ekonomi yang semakin meningkat dan penurunan angka kemiskinan yang subtansial? Perlu disadari, garis kemiskinan yang kita pakai sebagai dasar perhitungan angka kemiskinan tidak mencerminkan kesepakatan pandangan dunia tentang kemiskinan yang sesungguhnya.
Garis kemiskinan yang disepakati oleh dunia internasional adalah penghasilan US$ 2 per hari per kapita, sedangkan kita menggunakan angka sekitar US$ 1 per hari per kapita. Parameter internasional harusnya berani ditetapkan sebagai garis kemiskinan nasional guna menentukan angka kemiskinan. Dengan demikian, penurunan angka kemiskinan yang terjadi benar-benar keberhasilan subtansial yang diakui dunia, bukan keberhasilan yang bersifat pencitraan. Pemerintah selama ini bias pada pertumbuhan ekonomi dan abai terhadap masalah keadilan ekonomi.
Kita memang telah termasuk dalam kelompok negara dengan pendapatan menengah-atas dengan pendapatan per kapita sebesar US$ 3.542,9. Tapi hal itu menjadi tidak bermakna ketika kita memahami bahwa yang menikmati kue pembangunan Indonesia itu sebenarnya tidak proporsional. Ada 10 persen penduduk, jika merujuk pada Indikator Pembangunan Dunia dari Bank Dunia pada 2013, yang memiliki 65,4 persen dari aset total nasional. Dalam hal ini, Indonesia berada di peringkat 17 negara yang kesenjangan ekonominya paling tinggi dari 150 negara yang disurvei.
Tidak mengherankan jika kemudian angka indeks Gini juga semakin melebar dari 0,329 pada 2002 menjadi 0,413 pada 2011, apalagi kalau dibandingkan pada era Orde Baru yang sebesar 0,3. Hal itu menunjukkan kesenjangan ekonomi antara orang kaya dan miskin di era Reformasi ini semakin melebar.
Ketimpangan (kesenjangan) ekonomi, ditambah dengan semakin sulitnya akses rakyat miskin terhadap pangan, sandang, papan, pendidikan, dan kesehatan, adalah bahaya laten yang bukan saja bisa menimbulkan goncangan sosial. Seperti yang dikemukakan Stiglitz, dalam bukunya, The Price of Inequality (2012), hal ini menjadi sesuatu yang bisa menghancurkan demokrasi itu sendiri. Pemerintah di masa mendatang harus berani mengambil sikap politik yang impelementatif dalam mengatasi masalah kesenjangan ekonomi yang semakin melebar dan menurunkan angka kemiskinan yang subtansial.
Untuk itu, DPR dan pemerintah periode 2014–2019 (hasil koalisi yang terbentuk) harus berani menjadikan angka penurunan kemiskinan dan kesenjangan ekonomi menjadi paremeter penting pembangunan, yakni dengan cara memasukkan parameter-parameter tersebut menjadi asumsi dasar dan target penting dalam APBN. Belum ada satu pemerintah pun pada era Reformasi ini yang berani menjadikan penurunan kesenjangan ekonomi dan penurunan angka kemiskinan signifikan sebagai kemauan politik (political will) dalam APBN yang mereka susun.
Masyarakat madani perlu mengedukasi para pemilih untuk memaksa para politikus yang bermanuver tentang koalisi calon presiden agar tidak sekadar berbicara tentang siapa mendukung siapa dan mendapat apa, tapi bagaimana koalisi itu memberi ekspektasi tentang Indonesia yang lebih adil, makmur, dan sejahtera. Bahkan, sebaliknya, kekuatan-kekuatan politik yang hanya mempertontonkan koalisi yang sarat dengan kepentingan elite layak dihukum. Caranya adalah dengan tidak memilih kekuatan koalisi tersebut dalam pemilihan presiden 9 Juli nanti.

Source : http://pemilu.tempo.co/read/analisa/32/Koalisi-untuk-Kepentingan-Siapa